Merasakan Mati

merasakan-mati

Oleh: Erlangga

TUBUHKU terbujur kaku dan lemah. Sedikit pun tak bisa kugerakkan. Aku sudah setengah sadar, antara mimpi dan kenyataan. Aku sudah tak melihat dunia lagi. Tak ada apa-apa disekelilingku. Hanya bentangan alam luas kosong tanpa batas, diselimuti kabut tipis berwarna putih. Tak kulihat lagi orang-orang yang tadi berada disampingku. Menemaniku sejak satu jam lalu ketika aku mulai terbaring di tempat tidur ini. Ibu, ayah, saudara dan beberapa tetanggaku, Kemana mereka pergi? Dan mengapa  mereka mening­gal­kanku seorang diri disini?

 Hanya sebuah suara, perlahan dan berbisik, tetapi terdengar sangat jelas di telingaku. Selalu berulang, berkali-kali, dan itu-itu saja. Suara yang sangat aku hafal, tetapi aku tak tahu itu suara siapa. Sebuah kalimat atau bacaan talkin yang biasa diucapkan di telinga seseorang yang akan meninggal dunia. Aku merasa, bahwa si pemilik suara itu ingin aku mengucapkan kalimat atau bacaan yang sama seperti kalimat yang diucap­kannya, dan aku mengikutinya tanpa terbata sedikit pun.

Barulah aku sadar jika saat ini aku sedang menjelang ajal. Kulihat orang-orang berpakaian serba putih dan sangat indah turun dari langit. Berduyun-duyun. Banyak sekali jumlahnya. Aku tak bisa menghitung mereka. Lalu mereka duduk menge­lilingiku. Disam­ping kiri dan kananku, di depan dan di belakang­ku. Sejauh mata memandang hanya mereka yang terlihat. Mereka memperhatikanku. Wajah mereka putih bercahaya dan sangat ramah, dan selalu tersenyum kepadaku.

Ternyata mereka adalah para Malai­kat. Diantara mereka membawa selem­bar kain kafan putih bersih yang sangat halus dan lembut, dan kapur barus yang sangat harum baunya. Belum pernah aku mencium bau harum seperti itu selama hidup di dunia. Malaikat itu duduk disisi kepalaku.

Aku masih mengucap kalimat tal­kin...

Dan turunlah Malaikat Maut si pem­bawa kematian. Ia berwujud seo­rang pemuda gagah dan tampan. Malai­kat itu tidak seperti yang digambarkan sebagian orang, keras, kasar, kejam dan menyeramkan. Ia seperti Malaikat lainnya, tetapi tampak lebih berwibawa. Sepertinya Malaikat itu kedudukannya lebih tinggi dari Malaikat lainnya. Wajahnya putih bercahaya seperti matahari tetapi tidak menyilaukan. Ia sangat ramah dan juga selalu tersenyum padaku. Tubuhnya dibalut dengan pakaian sangat indah. Sungguh elok aku memandangnya.

Ialah yang selama ini bertugas mencabut nyawa setiap orang. Sekarang ia datang kepadaku dan akan mencabut nya­waku. Ini adalah hari yang telah dijanjikan Tuhan. Hari dimana aku  akan mengalami kematian. Hari dimana roh dan jasadku akan terpisah. Hidupku di dunia akan segera berakhir, tak lama lagi, tinggal menunggu waktu saja. Hanya sepersekian detik lagi...

Malaikat itu duduk disisi kanan kepalaku. Aku tahu, Ia akan segera melaksanakan tugasnya. Ia berkata dengan suara halus dan merdu... “ Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan rahmat Tuhan­mu”.

Aku terus mengucap kalimat talkin...

Lalu Malaikat itu mencabut rohku dengan cara yang sangat halus dan cepat. Rohku keluar seperti aliran air yang keluar dari sebuah teko. Dengan cepat pula Malaikat lain segera meng­am­bil rohku, tak membiar­kan lama di tangan Malaikat Maut. Para Malaikat meletakkan rohku di selembar kain kafan halus dan lembut yang mereka bawa tadi, ditaburi kapur barus sangat harum, lalu membawaku ke langit. Para Malaikat penjaga langit pertama berebut membukakan pintu gerbang langit pertama untukku seraya berkata...

“Roh siapakah yang sangat harum ini..?”. Malaikat yang membawa rohku menjawab, “ ini adalah roh Abdurrah­man bin Abdurrahim”. Para Malaikat di langit pertama berduyun-duyun ikut mengantarkan rohku ke langit berikut­nya. Di langit kedua, para Malaikat disana pun berebut membukakan pintu gerbang langit kedua, juga bertanya...

“Roh siapakah yang sangat harum ini..? “, dan dijawab lagi oleh Malaikat yang sama, “ini roh Abdurrahman bin Abdurrahim”.

Para Malaikat di langit kedua pun berduyun-duyun ikut mengantarkan rohku ke langit berikutnya. Demikian seterusnya sampai di langit ketujuh. Lalu kudengar suara sangat merdu, bertanya padaku tentang beberapa perkara yang semuanya kujawab dengan benar.

Rohku dikembalikan ke bumi, dan menyatu lagi dengan jasadku. Tetapi mungkin – ini adalah jasad yang baru..? Ku­dengar suara dengan sangat jelas, gesekan sandal atau sepatu. Sepertinya mereka sedang berjalan di atasku. Aku telah berada di alam barzah atau alam kubur. Ketika suara itu hilang, datang dua orang berwajah sangat keras dan menyeramkan. Mereka juga bertanya padaku tentang beberapa perkara. Mereka bertanya dengan membentak! Suara mereka sangat keras, menggele­gar seperti halilintar. Tetapi entah mengapa aku tidak merasa takut sedikit pun. Tuhan telah menguatkan hatiku untuk menghadapi dua orang itu, dua Malaikat yang memang sangat keras. Dan aku menjawab pertanyaan-perta­nya­an mereka dengan tenang.

Seketika terdengar suara dari langit yang membenarkan jawabanku. Lalu dinding-dinding tanah disekitarku mulai bergerak menjauh. Membuat alam kuburku menjadi sangat luas – lapang, tanpa batas, sejauh mata memandang, dengan hamparan taman-taman yang sangat indah. Angin dari sorga berhem­bus lembut dengan bau sangat harum. Tanpa kusadari, aku sudah memakai pakaian yang sangat indah.

Lalu datanglah seorang pemuda tampan. Belum pernah aku melihat pemuda setampan itu. Ternyata ia adalah perwujudan dari amalanku selama hidup di dunia. Ia akan mene­mani­ku di alam kubur ini, hingga hari kiamat tiba. Kami berbincang sejenak di tengah hamparan taman. Tak berapa lama kemudian...

Tiba-tiba terdengar suara sangat keras. Itu adalah suara terompet sangka­kala, yang menandakan bahwa dunia akan segera berakhir, bahkan semua yang ada di alam semesta ini. Tak ada sesuatu pun yang akan tertinggal walau sebesar biji atom. Semuanya akan sirna, musnah tak bersisa, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.

“Kiamat sudah tiba..!”, kata si pemuda itu. Lalu ia menghilang dari hadapanku, dan aku jatuh pingsan tak sadarkan diri...

Aku terbangun! Nafasku tersengal-sengal. Keringat mem­basahi kening dan tubuhku. Mimpi itu seperti nyata. Aku seperti benar-benar mengalaminya – mengalami kematian! Jantung­ku berdegup kencang. Seketika rasa takut menyelinap dalam hatiku.

“Ya Tuhan.. sudah lama aku melupa­kanmu.. !”, kataku dalam hati. Terus terang, aku tak pantas mengalami kematian dengan cara khusnul khatimah seperti itu, mengingat dosa-dosa yang telah kulakukan selama ini. Tetapi, aku pun tak ingin mati dengan cara shu’ul khatimah – mati dengan cara keburu­kan.

Masih jam setengah tiga pagi, aku segera mandi mem­ber­sih­kan diri, wudhuk, lalu sholat Taubat. Kulanjut­kan dengan sholat Tahajud, dan mengaji sampai Subuh. Pada mulanya agak kagok juga. Tetapi syukurlah, karena pada dasarnya aku memang pandai mengaji, jadi hanya tinggal membiasa­kannya. Mulai saat itu juga aku tak akan melakukan perbuatan maksiat lagi.

Hapeku berbunyi, tetapi kubiarkan saja. Itu pasti dari teman-temanku. Mereka ingin memastikan apakah nanti malam kami jadi membegal atau tidak. Selamat tinggal, kawan-kawan. Aku sekarang tidak bersama kalian lagi. Aku sekarang telah hijrah – kembali ke jalan yang benar. Besok pagi-pagi aku akan ke kantor polisi, mempertang­gung­jawab­kan semua perbuatanku selama ini yang telah banyak memakan korban...

***

()

Baca Juga

Rekomendasi