Apa Kabar Revolusi Mental ?

apa-kabar-revolusi-mental

Oleh: Jan Roi A Sinaga

PADA awal masa pe­me­rin­­­tahan Jo­kowi-JK pada 2014 lalu, ada se­cer­­cah harapan bagi ba­ngsa In­do­nesia lewat slogan yang me­nggugah pe­ra­saan berbangsa saat itu, yakni Re­volusi Mental. Kita se­­mua yakin, bah­wa salah satu peng­hambat kema­juan bangsa ini seperti negara-ne­gara maju lainnya di dunia adalah ma­salah mental rakyat Indonesia.

Mental inferior, menganggap diri kita tidak ada apa-apanya diban­ding­kan negara lain. Kita langsung min­der, dan beranggapan bahwa kita ti­dak mampu melakukan segala se­suatu yang negara lain telah lakukan. Im­basnya, kita kerap tertinggal se­langkah bahkan lebih, dari negara lain perihal kemajuan dibidang tek­nologi dan pendidikan, misalnya. Se­bagai perbandingan, negara kita le­bih dahulu merdeka daripada In­dia. Akan tetapi, India sudah ber­kem­­bang pesat perihal teknologi dan pendidikan.

Program luar angkasa, teknologi informasi, teknologi sistem per­ta­hanan negara, ditambah dengan ba­nyaknya orang India yang telah dia­kui perusahaan besar dunia seperti Google, Apple, Microsoft dan lain se­bagainya menduduki jabatan pent­ing (CEO/COO). Apa yang mem­be­dakan kita dengan warga negara India? Masalah mental.

Mental demagogisch, salah satu warisan terbesar Belanda bagi bangsa Indonesia. Disebut warisan, karena sifat demagogisch yang ditinggalkan, sama persis seperti apa yang terjadi di Belanda, yakni suka mempermasalahkan hal sepele, dan mengabaikan pokok utama dari sebuah persoalan yang ada. Seperti yang dituliskan Tan Malaka dalam MADILOG, bahwa mental dema­go­­gisch cenderung mem­perma­sa­lah­kan sebuah persoalan, tapi tidak men­cari solusi konkrit yang ber­manfaat bagi kehidupan.

Sikap seperti inilah yang masih terus kita pelihara hingga kini, yang menjadi batu sandungan bagi bangsa In­do­nesia untuk terus mengejar ke­tertinggalannya dari negara ber­kem­bang lainnya, menuju era ke­majuan. Sehingga, disaat Jokowi-JK diawal-awal pemerintahannya men­canang­kan program revolusi Men­tal, ada se­cercah harapan bahwa Indonesia ber­ada di gerbang kemajuan. Tetapi, hingga di penghujung periode per­tama beliau sebagai Presiden, sudah sejauh manakah keberhasilan pro­gram Revolusi Mental yang di­de­ng­ung-dengungkan itu? Melihat si­tuasi bangsa saat ini, tampaknya slo­­gan Revolusi Mental masih seba­tas Jargon semata. Belum ada dam­pak nyata, terutama dalam kehi­du­pan sosial masyarakat Indonesia.

Tembok pemecah !

Seandainya pun Jokowi-JK telah be­nar-benar berupaya untuk mere­vo­­lusi mental rakyat Indonesia men­jadi lebih terbuka, modern dan siap ber­­saing diera serba cepat ini, namun se­­l­ama masih ada saja pihak oposisi yang menghalangi dan terus me­me­li­hara mental demagogisch dalam ke­­hidupan masyarakat Indonesia, maka negara kita akan terus seperti ini.

Konflik sosial, Intoleransi, dan perdebatan panjang karena per­be­daan pandangan politik, akan terus menjadi berita utama permasalahan negeri ini. Demi kepentingan politik, para elite yang seharusnya bisa men­jadi harapan pemersatu bangsa, malah sibuk mencari cara bagai­ma­na agar masyarakat berada pada dua kubu yang berseberangan, dikon­fron­tir, demi menjaga asa merebut pun­cak kekuasaan. Seolah-olah hal ini lumrah dalam negara dengan sis­tem demokrasi, meski pada ke­nya­taannya (mereka) lupa memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang be­lum mampu menjadi warga negara se­­utuhnya pun, akhirnya pasrah di­gi­ring kedalam pusaran politik para politisi 'kotor'. Dan kenyataan ini se­­­­­ma­kin jelas saat periode kepe­mim­­­pinan Jokowi-JK dimulai, dan ma­­sih terus berlangsung hingga saat ini.

Bagi masyarakat yang tergabung dalam barisan oposisi, pemerintahan Jokowi-JK tidak ada benarnya, dan hanya menguntungkan bagi pihak Asing. Semua program pemerintah di­­anggap lalai, dan pemerintah lang­sung dicap gagal menjalankan tugas­nya sebagai “nakhoda” bangsa ini. Te­­tapi, bukannya memberikan kritik yang membangun, kelompok ini ke­rap memberikan “nyinyiran” ter­ha­dap kinerja pemerintah. Nyinyir ber­be­da dengan kritik, karena ia ber­basis kebencian, tanpa data dan fakta yang jelas. Tujuannya hanya satu, yakni memberikan cap “gagal” bagi pemerintah, dan mendesak Presiden Jokowi untuk segera mundur.

Apa saja diributkan dan diper­ma­salah­kan, tetapi tidak pernah memberikan solusi yang baik atas se­buah permasalahan yang dike­mu­k­akan. Apa saja bisa dipolitisasi, mu­lai dari Agama hingga suku dan ras. Tujuannya jelas berusaha untuk memberi preseden buruk bagi pemerintahan yang sah.

Tidak ada bedanya dengan ma­syarakat yang bergabung dalam bari­san pemerintah. Meski sudah men­jadi kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia mendukung peme­rin­tahan yang sah, tetapi ada per­bedaan bagi kelompok pro-peme­rita­han di negara kita kali ini. Mereka lebih tepat disebut sebagai “die har­der” Jokowi-JK, karena all out dalam memberikan pembelaan kepada Presiden atas setiap kebijakannya.

Pemerintahan Jokowi-JK sangat anti kritik bagi mereka, dan siapa saja yang memberikan kritikan atau nyin­yiran, bukan lagi prosedur hu­kum yang berlaku, melainkan bully-an atau persekusi. Pernah satu ke­tika, CEO Bukalapak (salah satu apli­kasi belanja Online di Indonesia) mem­posting sebuah data “usang” di akun twitternya perihal dana re­search and development yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan ne­gara lain, termasuk Malaysia dan Si­ngapura. Ahmad Zacky menulis ha­rapan, agar “presiden baru” nanti, bisa meningkatkan anggaran R&D demi bersaing di era industri 4.0.

Melihat isi tweet tersebut, rela­wan Jokowi langsung marah dan me­­ngamuk, menuduh Ahmad Zacky ti­dak tahu berterimakasih kepada Pre­siden Jokowi, yang mana be­be­rapa waktu sebelumnya ikut me­ra­mai­­kan HUT Bukalapak, dan mem­promosikan Bukalapak sebagai sa­lah satu perusahaan unicorn berbasis apli­kasi di Indonesia. Setelah itu, mun­cul seruan untuk meng-uninstall buka lapak dari gagdet para relawan Jokowi, dan memberi respon bintang satu di google play store

Jelas hal ini berdampak kepada ci­tra Bukalapak sendiri sebagai pe­ru­sa­haan yang sedang bersaing de­ngan perusahaan serupa. Dengan pan­dangan negatif para masyarakat, bisa-bisa para investor yang awalnya ingin berinvestasi di Bukalapak, ma­lah mengurungkan niatnya. Dan be­berapa waktu lalu, tersiar kabar bah­wa Bukalapak akhirnya mem­ber­hen­tikan sebahagian pegawainya. Me­lihat kenyataan ini, bagaimana pe­­rasaan pendukung Jokowi? Ba­hagia karena ini adalah sanksi atas sin­dirannya bagi Jokowi, sementara di luar sana ada puluhan bahkan ra­­tusan orang yang mata penca­harian­nya terganggu?

Terbaru, giliran Tempo yang “diserang” para relawan Jokowi. Pe­rihal tampilan cover majalah Tempo bergambar Presiden Jokowi, dengan bayangan sosok berhidung panjang, yang ditafsirkan sebahagian orang ada­lah Pinokio. Cover itu menje­laskan kritikan terhadap disah­kan­nya RUU KPK oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah.

Imbasnya? Aplikasi Tempo di Google play store dan AppStore han­ya mendapat bintang 1, dan mungkin akan bernasib sama dengan aplikasi Bu­kalapak yang akhirnya hilang dari Google play store. Saham Tempo pun terjun bebas, dan “diseberang” sana, beberapa buzzer dan relawan Jokowi seolah-olah berteriak bangsa sambil berkata, “siapa suruh kritik junjungan kami?”

Terlepas dari ada atau tidaknya ke­­­ber­pihakan Tempo sebagai se­buah me­dia yang seharusnya netral, bu­­kan­kah ada baiknya kita balas de­ngan kritikan disertai data yang te­pat? Bukan malah menyerang se­ca­ra psikis dan membuat sebuah pe­ru­­sa­haan nasional, dimana banyak orang Indonesia menggantungkan hi­dupnya akhirnya menderita, hanya ka­rena ulah sekelompok atau oknum tertentu.

Tidak ada dialektika yang di­ba­ngun. Argumen langsung diban­tah de­ngan tindakan “anarkis”. Pa­dahal, jika dicerna dengan pikiran terbuka, kri­tik dari Bukalapak dan Tempo, bisa dijadikan batu pijakan untuk mem­perkuat kedudukan Jokowi me­mim­pin bangsa ini. Membalas sajian data, lebih baik dengan data, bukan dengan tindakan yang bisa me­ru­gikan semua orang, yang bah­kan tidak ikut andil dalam sengketa pi­lihan politik ini.

Pun demikian dengan masyarakat dikubu oposisi, tidak pernah berhenti menggiring opini masyarakat untuk terus memandang negatif setiap kinerja peme­rintahan. Disaat ada yang melawan, persekusi jadi andalan. Disaat dipaparkan data untuk menyanggah, bulying menjadi solusi. Sampai kapan kita akan terus bermusuhan seperti ini?

Jika tetap demikian, sama halnya kita sedang membangun kembali “tembok Berlin” di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sedang membangun jurang pemisah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita terlalu sibuk meributkan sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah utama, dan melupakan masalah pokok bangsa ini yang seharusnya kita pecahkan bersama, yakni Intoleransi dan masuknya paham radikalisme yang siap merong-rong Pancasila dan keutuhan NKRI. Apa kabar Revolusi Mental yang dulu digembar-gemborkan oleh Jokowi-JK? Masihkah upaya itu akan terus berlanjut di periode kedua ini?

Kita semua menantikan realisasi dari revolusi mental ala Jokowi-Ma’aruf. Karena tidak ada artinya kita mengebut pembangunan infrastruktur, sembari berharap bisa bersaing diera 4.0 ini, jika Mental masyarakat Indonesia masih inferior dan demagogisch. Kita rindu Indonesia yang aman, damai dan sejahtera. Indonesia yang mana rakyatnya bisa menjadi warga negara, dan tudak ada pada dua kubu politik yang berseberangan. Menjadi warga negara, artinya ikut mengawasi jalannya pemerintahan, memberikan kritikan yang membangun kepada pemerintahan. Dan yang terpenting dari itu semua, mendukung jalannya peme­rintahan yang sah, bukan malah menjadi batu sandungan untuk kemajuan Indonesia. Itulah harapan kita semua. Semoga tercapai! ***

Penulis adalah, pemerhati Sosial, Pendidikan dan Budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi