Yang Tercinta: Bebeb

yang-tercinta-bebeb

Oleh: T. Sansi Situmorang

Bebeb sudah menunggu di pintu kedatangan sewaktu aku tiba di sana. Kupeluk tubuhnya erat kemudian mencium pipinya. Dia malah menyosor bibirku. Bi­bir kami hanya bersentuhan se­kilas. Aku tersenyum.

Seperti kesepakatan, kami lang­sung menuju Parapat. Semu­la niatku naik mobil travel yang berisi beberapa orang, tetapi Be­beb memutuskan menyewa mo­bil itu hanya membawa kami ber­dua.

Dalam perjalanan, Bebeb me­ngusulkan sebaiknya aku punya mo­bil. Dia bersedia menutupi ke­kurangannya. Bila aku gengsi menerima bantuannya, Bebeb bi­lang, “Uang itu sebagai pinjaman. Supaya kau tidak merasa me­man­faatkanku.”

Aku menolak usulan Bebeb. Sepeda motor cukup untukku. Selain mampuku hanya itu, aku ti­dak butuh mobil. Sebenarnya, aku dan Bebeb bisa naik motor sampai ke Parapat. Lebih efisien karena bisa kami pergunakan se­lama berada di Parapat dan Sa­mosir.

Bebeb menolak dengan ber­ba­gai alasan. Dia enggan naik mo­tor untuk perjalanan jauh. Takut kecelakaan dan masuk angin. Aku mengerti kecemasan­nya.

Aku dan Bebeb menempel di kursi belakang. Kami, terutama Be­beb, sama sekali tidak meng­anggap sopir yang membawa ka­mi. Kepala Bebeb bersandar di ba­huku, sengaja wajahku kuha­dap­kan padanya. Hidungku me­nyentuh-nyentuh puncak kepala­nya. Wangi rambut Bebeb meng­antarku ke langit.

“Bagaimana kabar Jakarta?”

Bebeb bilang, Jakarta terasa sa­ngat sepi tanpaku.

Kepala Bebeb kupindahkan ke pangkuanku. Sekarang, posisi Bebeb setengah berbaring. Aku tersenyum tipis ketika bertemu mata dengan sopir melalu spion da­lam. Lelaki yang kuduga se­usiaku itu tampak salah tingkah. Barangkali dalam hati dia ber­sumpah itu terakhir kali dia pena­saran dengan kami.

Bebeb yang melarangku ke Jakarta. “Sebab aku mencintaimu. Tak mau kehilanganmu,” kata Bebeb dengan pasti.

Aku meliriki sopir. Kepala­nya lurus ke depan. Kurasa seka­rang telinga yang dia pasang be­nar-benar.

Aku setuju dengan Bebeb. Le­bih aman memang seperti ini, Be­beb yang berkunjung ke Me­dan ketimbang aku ke Jakarta. Di Medan, hanya beberapa orang yang kenal Bebeb. Itu pun setelah kukenalkan. Tidak ada yang tahu masa lalu kami di sini. Di Jakarta, tidak terhitung yang mengenalku sekaligus mengenal Bebeb. Me­re­ka tahu kami, latar belakang ka­mi.

Sejak pindah ke Medan dua ta­hun lalu, tak sekalipun aku pu­lang ke Jakarta. Tidak terhitung jumlah Bebeb berkunjung ke ma­ri. Bahkan pernah Bebeb tiba si­ang hari dan pulang sore hari­nya. Kami hanya sempat mampir di sebuah hotel tidak begitu jauh dari bandara.

Kedatangan Bebeb kali ini, ter­masuk luar biasa. Seminggu ini kami akan terus bersama-sa­ma di sini. Ini akan menjadi waktu terpanjang kami setelah Ja­karta kutinggalkan. Hartanto tahu Bebeb pergi ke Medan. Ti­dak seorang pun tahu sekarang aku menetap di Medan. Sebagai seorang pebisnis yang rutin me­la­kukan perjalanan ke kota-kota di seluruh Indonesia, memang wa­jar Hartanto tidak curiga.

Dulu, Bebeb sudah berjanji di depan semua orang untuk me­lepaskan aku dari hati dan pi­kirannya. Janji itu yang dipegang Hartanto. Janji bukanlah takdir. Masih bisa dilanggar. Sayang se­ka­li Hartanto tidak berpikir seperti itu.

Untung juga Hartanto tidak berpikir sampai ke situ. Bila iya, bisa jadi seumur hidupku tidak bi­sa bertemu Bebeb lagi. Aku ya­kin tidak bisa hidup tanpa Be­beb. Mungkin terdengar memu­al­kan, tapi seperti itu adanya.

Aku sangat mencintai Bebeb. Aku  jatuh cinta pada pandangan pertama, sewaktu pengambilan rapor di sekolah. Bebeb meng­ambil rapor Kimi. Untungnya aku lumayan dekat sama Kimi. Jadi tidak aneh bila kemudian aku sering ke rumah Kimi, tentu saja untuk melihat Bebeb.

Seperti sepotong magnet de­ngan lempengan besi, aku dan Be­beb nyaris tidak memiliki ham­batan untuk merasa saling memiliki.

*  *  *

Usiaku baru empat belas tahun ketika ibuku meninggal. Usiaku belum lima belas tahun ketika ayah membawa istri baru ke rumah. Istri ayahku itulah yang merenggut keperjakaanku, di atas ranjang kamarku. Semula, hari-hari berjalan sangat mena­kut­kan, terutama di saat ayah ti­dak berada di rumah. Perempu­an itu bisa memaksaku di mana saja.

Sampai tiba sebuah titik, ke­takutan itu hilang dari hatiku, namun bukan berarti kunikmati. Perbuatan laknat itu semacam ke­wajiban yang tidak berarti apa­ pun bagiku. Saat umurku tujuh belas tahun, ibu tiriku tewas ke­celakaan di jalan raya. Aku pun merayakan kebebasanku.

Barangkali ibu tiriku melak­nat­ku dari surga entah neraka. Seharusnya aku berduka atas ke­matiannya yang tragis. Aku tidak bisa menyukai perempuan-pe­rempuan di sekelilingku. Kecuali Bebeb, dia cinta pertamaku.

*  *  *

Kami singgah di Pematang Si­antar untuk makan. Pukul lima belas lewat tiga puluh. Tidak tepat dikata makan siang, tapi faktanya aku dan Bebeb belum makan siang. Setelah sopir tahu tujuan kami se­benarnya ke Tuk-tuk, dia menjelas­kan kapal terakhir ke sana sekitar jam tujuh. Tentu masih ada waktu. Dari Pematang Siantar ke Parapat tidak sampai tiga jam.

Aku dan Bebeb masih duduk di belakang. Sopir tidak pernah lagi melirik-lirik melalui spion dalam. Mungkin dia tidak merasa aneh lagi melihat kemesraanku bersama Bebeb. Dulu aku malu memperton­ton­kan kemesraan di depan orang lain.

Sepuluh tahun bersama Bebeb agaknya berhasil memutuskan urat maluku perihal itu. Lagi pula ku­rasa, itulah satu bukti bila cintaku pada Bebeb benar-benar tulus. Ti­dak aku peduli pandangan orang lain, yang penting aku bahagia ber­sama Bebeb.

Sampai dua tahun lalu, kebaha­gian itu robek manakala Hartanto mengetahui hubungan kami. Tidak setitik debu rasa takut muncul di ha­tiku. Diam-diam aku bahagia ter­bongkarnya rahasia itu. Aku berha­rap Bebeb mengajakku lari, kemu­dian kami menikah.

Aku sakit hati manakala Bebeb tidak memilihku. Dia berjanji akan melupakanku bila diberi kesempa­tan. Hartanto memberi kesempatan itu. Aku pun meninggalkan Jakarta atas permintaan Bebeb dan bela­ka­ngan Kimi.

Bebeb tidak berhak memintaku pergi jauh, tapi kurasa Kimi pantas mendapatkan yang dia inginkan. Selama ini Kimi sa­ngat baik padaku. Dia tidak meng­hakimiku ketika hubunganku de­ngan Bebeb terbongkar. Padahal se­harusnya, membunuhku pun Ki­mi pantas.

Entah kenapa malah Medan yang kupilih. Aku tidak memiliki saudara maupun kenalan di sini. Untungnya kota ini berbaik hati pa­daku, aku diterima bekerja di se­buah perusahaan bonafide de­ngan posisi tidak buruk. Di sini aku berusaha melupakan Bebeb dan segala kenangan kami. Se­makin berjuang melupakan, se­makin kuat Bebeb menggempur hati dan pikiranku.

Satu kesempatan, pertahananku bobol. Kuhubungi nomor Bebeb yang masih kuhapal. Ternyata, aku dan Bebeb sama-sama tersakiti dengan perpisahan kami. Esoknya, aku menjemput Bebeb di bandara. Kami menghabiskan dua hari yang sangat indah.

Begitulah. Aku dan Bebeb men­jalin cinta lagi. Tanpa seorang pun yang tahu. Maksudku, tak seorang pun yang kami kenal tahu kami men­jalin cinta lagi.

Sore yang hitam memayungi la­ngit saat mobil melintasi Penata­pan menuju Parapat. Biasanya, Danau Toba sangat indah ditatap dari sini. Sekarang, airnya yang biru tertutup asap putih kiriman dari provinsi tetangga.

Kutepuk pelan pipi Bebeb yang tertidur di pangkuanku.

“Hampir sampai.” Aku bergu­mam setelah matanya  terbuka.

*  *  *

Empat malam kami habiskan di Tuk-tuk, Pulau Samosir. Kami tak ubah bagai bocah yang sedang mendapatkan mainan baru. Aku sendiri heran dengan gai­rahku, terutama gairah Bebeb. Sekejap pun Bebeb seolah eng­gan menjauh dariku. Barang­kali, jika kupinta, Bebeb ber­sedia berdiri di sebelahku sem­bari memegang tangan kanan­ku ketika aku buang hajat.

Keherananku terjawab se­ka­rang, malam terakhir dari dua malam yang kami habis­kan di Medan. Kami makan di  kafe  hotel tempat kami mengi­nap. Bebeb bilang, sudah waktu­ku mencari perempuan lain. Pe­rempuan yang pantas men­dampingiku menghabis­kan sisa hidup.

“Hanya Bebeb yang pantas mendampingiku menghabis­kan sisa hidup. Tidak perem­pu­an lain.”

Bebeb melanjutkan, “Dia bu­kan perempuan yang tepat un­tukku. Bila diibaratkan sebuah jalan, Bebeb hanya sebuah gang buntu. Sia-sia belaka me­nyusuri gang buntu sebab tidak menemukan apa pun pada ujung­nya.”

“Bebeb matahariku. Bukan gang buntu.”

Bebeb tertawa kencang, ta­pi terdengar kering. Kemudian dia berkata, ini malam terakhir kami bersama. Ketika besok pagi menyapa, kami bukan lagi sepasang kekasih. Bebeb ha­nya masa laluku, demikian ju­ga aku bagi Bebeb.

“Jangan berkata seperti itu. Hatiku sakit.” Aku tidak malu menangis di hadapan Bebeb, bahkan bila orang-orang di se­kitar kami mengabadikan air ma­taku melalui ponsel mereka kemudian menyebarkannya ke dunia maya.

Aku sudah pernah kehila­ng­an Bebeb, aku tidak mau me­ngalaminya sekali lagi. Aku tidak kuat. Semula Bebeb menghapus air mataku dengan kedua ta­ngannya. Air mataku masih me­ngucur deras. Bebeb tam­pak kewalahan, Bebeb meng­ha­pus air mataku dengan li­dahnya. Kemudian, aku dan Bebeb bertangis-tangisan.

“Bebeb, jangan pernah ting­galkan aku, ya.”

“Tidak, kita harus putus. Se­bab aku akan pergi,” tegas Be­beb.

Diam-diam kulepas doa me­nuju langit. Semoga Tuhan membekukan waktu. Aku dan Bebeb saling berpelukan se­per­ti ini sampai hari kiamat ti­ba.

Doaku tidak terkabul. Besoknya, saat terbangun, ti­dak ada Bebeb di sampingku. Nomor ponselnya tidak aktif, akun sosial medianya semua tidak dapat kulacak.

Aku merasa gila. Aku harus berbicara dengan Bebeb di Ja­karta. Peduli setan Hartanto sua­minya, Kimi anaknya, atau siapa pun itu.

*  *  *

Televisi masih menyala. Nama-nama penumpang pesawat be­serta kru ditampilkan. Urutan 47 tertulis Miranda Sukesih (55 tahun). Itu nama Bebeb.

Diduga, tragedi ini diaki­batkan kabut asap yang menge­pung langit Kalimantan. Tidak ada korban selamat. Begitu kata pembaca berita.

Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain memaki ketololanku. Seharusnya aku paham, pergi se­perti inilah yang dimaksud Be­beb. Aku mengaku sangat men­cintainya, tapi tak mampu me­nang­kap tanda-tanda yang dia be­rikan waktu itu.

Bebeb, jangan pergi! Aku merasa berteriak sangat kencang, hingga leherku nyaris patah, anehnya telinga­ ku tidak menangkap suara apa pun.

Binjai, 31 Oktober 2015

()

Baca Juga

Rekomendasi