
Oleh: M Arif Suhada
SEBAGAI makhluk hidup yang beraktifitas, kita selalu berhadapan dengan berbagai kesibukan. Dalam pemaknaannya, kesibukan kerap diidentikkan dengan suatu kegiatan atau pekerjaan yang mesti diselesaikan. Apa pun jenis pekerjaannya, bila berkaitan dengan tanggung jawab atau kebutuhan bagi seseorang, maka hal itu bisa dimaknai sebagai kesibukan bagi orang tersebut. Sebab, bila pekerjaan yang menimbulkan kesibukan itu diabaikan, boleh jadi yang bersangkutan akan mendapatkan konsekuensi yang sifatnya merugikan bagi dirinya sendiri.
Itulah kenapa orang yang sibuk mudah sekali diketahui dari sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Secara kasat mata, orang yang sibuk akan sangat kelihatan repot dalam kesehariannya. Ditandai dengan gerak-gerik tubuhnya yang mondar-mandir ke sana ke mari layaknya orang kebakaran jenggot. Pun bila tidak demikian, setidaknya ekspresi wajahnya sudah mencerminkan kesibukannya itu dengan tatapan serius dan raut wajah menegangkan ketika sedang mengerjakan sesuatu.
Orang yang dilanda kesibukan biasanya emosi jiwanya tidak lagi stabil. Orang yang seperti ini rentan sekali meluapkan kema rahannya bila ada sesuatu yang dirasanya mengganggu. Jika dianggapnya tidak terlalu penting, mereka lebih suka tenggelam dalam kesibukannya daripada membuang-buang waktu berurusan dengan orang lain. Andai pun mereka berinteraksi, tentulah pada orang-orang yang memang memiliki hubungan dengan kesibukannya itu. Bila tidak, mereka lebih memilih menghindari terjadinya interaksi dengan orang lain, apalagi bila interaksi tersebut hanya sekadar berbasa-basi belaka.
Makanya, orang yang sibuk terkesan sombong dalam tampilannya. Kesombongan itu muncul atas sikapnya yang apatis dengan orang-orang di sekitarnya. Padahal, boleh jadi, mereka sebenarnya tidaklah demikian sebagaimana prasangka yang timbul. Hanya saja mereka sedang tenggelam dalam kesibukan yang dijalaninya secara fokus. Namun karena terlalu fokus, akhirnya tanpa disadari mereka telah mengacuhkan orang-orang di sekitarnya yang coba menjalin interaksi.
Barangkali kita kerap menemukan contoh kesibukan di atas dalam realita keseharian. Misalnya dalam suatu kesempatan berjumpa dengan teman atau rekan kerja, yang ketika hendak didatangi dengan maksud bertegur sapa, yang bersangkutan justru terlihat sangat terburu-buru mengakhiri obrolan kita. Bahkan kadang tidak sempat walau sekadar ”say hello” saja, dengan dalih ada kesibukan yang mesti dikerjakannya.
Satu dua kali hal itu mungkin masih bisa dimaklumi. Namun jika keterusan, tentulah ke depannya akan banyak orang yang jadi enggan memulai interaksi dengannya lagi. Bagaimana pun dalam benak setiap orang sudah memprediksi hal serupa akan diterima sebagaimana sikapnya atas pertemuan-pertemuan sebelumnya. Lantas, apa yang harus kita lakukan jika kesibukan itu menimpa kita?
Sebaiknya memang, sesibuk apa pun rutinitas yang dijalani janganlah hal itu menjauhkan diri kita dari orang-orang di sekitar kita. Apalagi sampai dipandang sombong oleh orang lain karena terkesan menghindari interaksi dengan mereka agar kesibukan itu tak terganggu. Meskipun kita dihadapkan dengan berbagai kesibukan yang padat, luangkanlah waktu untuk tetap menjalin interaksi dengan mereka. Bercengkrama membincangkan obrolan-obrolan ringan barangkali bisa jadi obat yang menyegarkan pikiran supaya tidak stres karena disusupi rutinitas kesibukan yang melelahkan.
Perlu dipahami, ketika kita menjadikan kesibukan itu alasan untuk menghindari berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita, maka nanti di saat kesibukan itu telah usai, barulah kita akan benar-benar merasa kesepian. Dan mereka yang dulu berada di sekitar kita, pasti akan lebih mengurusi kesibukannya masing-masing ketimbang berurusan dengan kita, sebagaimana yang kita lakukan pada mereka di saat kesibukan itu melanda kita.
* November 2015