Cerpen

Metamorfosis Cewek Nerd

metamorfosis-cewek-nerd

Oleh: Ratnani Latifah

Selama ini Karin dikenal sebagai siswi paling nerd yang kadang suka diejek oleh teman-temannya—baik laki-laki maupun perempuan. Karin yang selalu memakai kacamata tebal dengan rambut kuncir kudanya, serta tumpukan buku yang tak pernah lepas dari tangannya. Tapi hari ini semua kaget dengan penampilan barunya yang terlihat segar dan manis, meski dia masih membawa tumpukan buku.

Bedanya kali ini, Karin tak lagi memakai kacamata tebalnya. Dia juga tidak lagi menguncir kuda rambutnya. Karin membiarkan rambutnya tergerai dan memakai lensa mata berwarna cokelat.

Bahkan Rina, sahabatnya, terkejut dengan perubahan Karin.

“Kok kamu ngeliatin aku ya gitu, sih? Aneh, ya?” Karin menunduk malu ketika Rina menatap penampilannya dari atas sampai bawah.

“Nggak...,” Rani menggeleng. “Kamu nampak beda, Rin. Aku sampai kaget. Kamu cantik banget. Kenapa nggak dari dulu kami seperti ini?” Rani tertawa lebar. Mereka sudah masuk kelas dan duduk di bangku masing-masing.

“Kalau sejak dulu kamu kayak gini, pasti kamu nggak akan diejek sama anak-anak badung itu.” Rani teringat dengan ulah geng Putri, yang entah kenapa selalu cari masalah sama Karin.

“Jujur, sebagai teman aku sih senang-senang saja dengan penampilan barumu. Aku juga suka dengan penampilanmu yang dulu. Yang penting kamu nyaman saja, Rin. Apa pun gayamu, pokoknya kamu tetap sahabatku yang cantik dan baik hati.” Rani merangkul pundak Karin.

“Eh... tapi dalam rangka apa nih, kamu sampai mengubah penampilan?” Rani seperti wartawan yang terus berbicara tanpa henti.

Bukannya menjawab, Karin gugup dan malu. Sebenarnya sejak awal Karin sudah menduga Rani akan bertanya seperti itu. Tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Seharusnya dia jujur pada Rani sejak awal.

“Ih... kok malah diam sih?” Rani menyenggol Karin yang sedang menera­wang.

“Em... janji, ya, kamu nggak akan ngetawain aku kalau cerita?”

“Pasti. Emang kapan aku pernah ngetawain kamu?” Rani tersenyum bersahabat.

Sayangnya sebelum Karin bercerita, bel masuk kelas sudah berbunyi. Rani harus sabar menunggu cerita Karin di jam istirahat nanti.

* * *

“Apa?!” Rani menatap Karin tak percaya. Dia tidak menyangka bahwa Karin sudah merahasiakan sesuatu yang teramat penting.

“Kok kamu nggak cerita dari awal sih?” protes Rani.

“Maaf...,” Karin menangkupkan kedua tangannya. Dia merasa bersalah pada Rani. “Aku malu.” Wajah Karin bersemu merah.

Rani tak menyangka, karena virus merah jambu, Karin yang pendiam itu rela mengubah penampilannya. Karin memaparkan bahwa kakak kelas yang dia taksir, konon menyukai gadis yang rambutnya digerai dan tidak berkacamata. Oleh karena itu, ketika tanpa sengaja Karin mendengar kabar itu, dia mencoba mengubah penampilannya. Siapa tahu dengan begitu, dia bisa disukai kakak kelasnya itu. Apalagi beberapa hari ini dia sering mengobrol dengan sang kakak kelas di perpustakaan.

Dan sebagai sahabat, tentu saja Rani hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Karin.

“Ciee... bisikin, siapa sih cowok yang kamu taksir itu?” goda Rani.

Sejak bercerita tadi, Karin memang belum menyebut nama cowok yang sudah membuatnya berubah. Dia hanya menye­but cowok itu kakak kelas mereka dan berada di kelas unggulan.

Dan wajah Rani seketika menegang ketika Karin menyebut nama Aldo.

“Kamu yakin suka sama Aldo?” tanya Rani hati-hati.

“Banget!” Karin menyeruput es tehnya. Mereka sedang mengobrol di kantin.

Mendengar pengakuan Karin, Rani hanya bisa menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang sudah sejak lama dia ketahui. Dia bingung bagaimana mengatakan fakta tentang Aldo yang selama ini dia ketahui. Meski sebenarnya dia sangat khawatir kalau nanti Karin mengetahui kenyataan itu.

Mungkin dia harus mencari kesem­patan yang pas untuk menceritakan semuanya kepada Karin. Dan itu bukan sekarang.

* * *

Perubahan Karin ternyata tidak hanya berdampak pada hubungannya dengan Aldo. Saat ini tiba-tiba dia menjadi sosok yang sangat populer dan menjadi pusat perhatian di sekolah. Geng Putri yang awalnya tidak menyukai Karin, tiba-tiba ingin mengajak Karin berteman dan hang out bareng. Pun dengan para siswa cowok yang dulunya menyepelekan Karin, sekarang malah mengejar-ngejarnya.

“Lho, kenapa ngumpet di sini, Rin?” tanya Rani ketika menemukan Karin di perpustakaan sambil membaca novel terbaru.

“Tentu saja buat menghindar, Ran. Masak iya mereka selalu ngintilin aku. Sebal, tahu! Aku jadi nggak punya waktu sendiri,” ucap Karin pelan.

“Duh... kalau dipikir-pikir, pas zaman aku nerd, nggak ada tuh yang butuh. Mereka cuek dan bahkan kadang suka mencerca sesuka hati. Eh, sekarang tiba-tiba mereka kayak ulat bulu yang ingin nempel.”

“Orang-orang memang gitu, kan, Rin? Meraka hanya melihat penampilan luar saja, bukan dari dalam. Bukan hatinya.” Rani sok bijak, yang kemudian dia tertawakan sendiri. Tapi tentu saja dengan pelan. Bisa-bisa dia dapat teguran karena mengobrol di perpustakaan.

“Padahal kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari cover-nya saja, kan? Seperti novel kesukaanmu, Rin. Nggak semua novel yang cover-nya bagus ceritanya juga bagus. Dan nggak semua novel yang cover-nya biasa saja, kisahnya biasa. Bahkan bisa jadi ceritanya lebih bagus daripada yang cover-nya oke.” Rani berkata lagi.

Mendengar penuturan Rani, seketika membuat Karin teringat sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya telah membuatnya kecewa pada diri sendiri, yang beberapa hari ini ingin dia ceritakan kepada Rani. Hanya saja dia bingung bagaimana cara memulainya.

“Rin, kamu dengar omonganku nggak, sih?” senggol Rani yang menyadari bahwa temannya sejak tadi hanya diam saja.

“Kamu kenapa, sih, Rin? Ada masa­lah? Ayo cerita sama aku. Biasanya 'kan kamu selalu cerita kalau ada apa-apa.” Rani menatap Karin, yang tiba-tiba malah menangis dan membuat Rani semakin bingung.

* * *

Setelah menumpahkan semua kesedih­an­nya, sekarang Karin dan Rani menik­mati puding yang dibuat ibu Rani. Sepulang sekolah tadi, Karin memu­tuskan main ke rumah Rani dan mence­ritakan semua masalah yang sedang dihadapinya. Dari masalah tentang Aldo juga tentang sebuah masalah yang selama ini dia pendam sendiri.

“Aku nggak nyangka, kalau dia mendekatiku demi sebuah taruhan.” Karin terlihat kesal.

Tanpa sengaja Karin mendengar Aldo berbicara dengan teman-temannya di kelas. Makanya dia tahu kebenaran itu.

“Aldo memang reseh, Rin. Sudah, lupakan saja cowok macam gitu. Maaf juga ya, kalau aku nggak kasih tahu kamu sebelumnya, soal kenakalan Aldo. Habis, kamu pas cerita terlihat semangat. Jadi aku bingung pas mau ngomong. Takut kamu sedih dan marah sama aku. Makanya aku mau tunggu waktu yang tepat, tapi kamu keburu tahu.” Rani merasa bersalah.

“Nggak apa-apa Ran. Aku yang bodoh. Mudah banget dibohongi. Dan bahkan rela tidak jadi diri sendiri.”

Karin meraih rambutnya dan kembali diikat kuncir kuda. Dia juga mengambil kacamatanya di tas dan melepas lensa matanya. “Nah... inilah aku yang sebenarnya.” Karin tersenyum riang.

 “Rasanya nyaman sekali jadi diri sendiri. Aku nggak mau jadi orang lain lagi karena cowok. Kalau suka seharus­nya mereka bisa terima aku apa adanya. Bukan membuat aku berubah jadi orang lain. Lagipula aku juga nggak nyaman dengan perhatian teman-teman di sekolah,” ucap Karin lagi.

“Yup! Aku setuju. Memang paling enak jadi diri sendiri. Tak perlu ribet, yang penting kita nyaman,” sahut Rani.

* Srobyong, 28 Agustus 2018

()

Baca Juga

Rekomendasi