
Oleh: Mahniar Sinaga.
Ketika aku berteduh di bawah pohon rindang, aku bertemu dengan kancil yang ingin minum air di sungai. Aku menyapanya. Dia tidak mau membalas sapaanku. Mungkin saja dia merasa haus dan mau minum terlebih dahulu.
Ketika aku mendekatinya dia, dia tersenyum dan menawarkanku air. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Sebab dia sudah perhatian padaku. Namun, ketika kancil mau pergi ke hutan, aku terinjak oleh kakinya. Aku menjerit. Tolooong. Jeritku. Lantas kancil merasa bersalah dan meminta maaf padaku. Kancil mengatakan," Siput, aku rela melakukan apa saja padamu. Sebab aku menginjak tubuhmu," ujarnya sambil menatapku iba. Dalam benakku, seandainya semua penghuni hutan ini seperti kancil, mau mengakui kesalahan sendiri tanpa unsur paksaan, alangkah bahagianya kehidupan hutan saat ini. Saling damai, berbagi, bahkan saling menjaga. Akhir-akhir ini, kehidupaan di hutan tidak layak disebut sebagai kehidupan. Tidak tahu mengapa, apa salah kami, sehingga habitat kami diganggu dengan asap yang membuat kesehatan terganggu. Bahkan tidak sedikit teman-temanku meninggal dunia. Aku kesepian. Air yang diminum pun ikut tercemar. Apalagi buah dan biji, tidak ada lagi pasokan makanan untuk kami. Nelangsa.
"Terima kasih, Kancil. Kamu sudah berperilaku jujur dan baik hati padaku. Aku merasa tubuhku baik-baik saja." jawabku sendu.
"Tidaaak, kamu terluka, Sobat. Aku bisa merasakan dari raut wajahmu yang sendu. Ada apa denganmu?" Tanya kancil pada siput dengan penuh harap. "Hmmm, kamu tidak merasakan, Ya? Saat ini banyak teman kita yang meninggal akibat asap ini."
"Sobat, kita harus kuat. Jika kita lemah, siapa yang bisa menjaga hutan ini. Aku sengaja mencari sungai yang tidak tercemar, agar aku bisa bertahan sampai asap ini benat-benar hilang. Dengan kerja sama yang baik antara aku, kamu dan teman-teman lainnya, kita mencari solusi agar musibah ini tidak terulang lagi.
"Iya, kamu benar. Auuuuw. Sakit." rintih siput.
"Kamu kenapa? Ini salahku. Seharusnya aku harus berhati-hati. Tidak gegabah. Sebab, kamu bergerak menggunakan otot perutmu. Kamu termasuk hewan invertebrata. Tidak sepertiku. Punya tulang belakang. Kuat dan bisa berlari kencang." Jelas Kancil.
"Tidak apa-apa. Kamu tidak sengaja. Mungkin saja tubuhku yang melemah. Sebab sudah diracuni asap. Selain itu, yang kamu katakan tadi benar. Kita memiliki alat gerak berbeda. Kamu menggunakan kakimu sebagai alat gerak. Sementara aku, hewan melata. Namun aku tidak takut lemah, seperti yang kamu katakan sebelumnya. Jika kita lemah, siapa yang menghuni hutan ini." Jelas kancil berjiwa besar.
"Maafkan ya. Saatnya kamu tidak boleh menolak permintaanku. Sekarang, naik ke tubuhku, dan aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman dari asap. Tuhan masih melindungi kita. Para hewan yang berjiwa besar. Jika bukan kita, siapa lagi yang menjaga hutan ini. Benarkan?"
"Terima kasih, Kancil. Kamu sahabatku yang baik dan peduli terhadap sesama." Akupun sampai ke tempat dimana aman bagiku. Terhindar dari gepulan asap. Semoga kejadian ini ntidak terulang lagi. Amin. (Penulis guru DIM)