
Oleh: Deddy Kristian Aritonang.
Presiden Joko Widodo menargetkan program Danau Toba menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) akan segera rampung pada akhir tahun 2020. Hal itu disampaikan beliau pasca kunjungannya ke beberapa titik kawasan Danau Toba seperti Kabupaten Samosir, Tapanuli Utara (Taput), Toba Samosir (Tobasa), Humbang Hasundutan (Humbahas) dan Simalungun baru-baru ini.
Tak lama berselang, seperti hendak merespon target Presiden, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi berencana akan membentuk Tim Percepatan Kesuksesan Pariwisata Kawasan Danau Toba. Lewat tim itu, nantinya Edy akan menggenjot pengembangan Danau Toba. Namun dari beberapa poin yang hendak dilaksanakan, ada satu hal yang menuai polemik. Gubsu mewacanakan wisata halal dan wisata syariah di kawasan Danau Toba.
Yang kemudian mengundang kritik dan sorotan tajam adalah rencana penataan hewan berkaki empat (baca: babi) agar tidak sembarang dipotong di tempat umum. Banyak yang menilai bahwa Gubsu sedang membenturkan politik agama dengan tradisi dan budaya yang merupakan manifestasi kearifan lokal.
Gubsu sejatinya tahu betul bahwa mayoritas penduduk di kawasan Danau Toba adalah suku Batak. Dan hampir di setiap ritual adat Batak seperti pernikahan, adat kematian Saurmatua, memasuki rumah baru untuk sekedar memberi sedikit contoh tidak pernah terlepas dari daging babi. Saya tidak mau panjang lebar memaparkan kenapa daging babi begitu vital dalam kehidupan adat suku Batak. Silakan cari sendiri di google.
Secara singkat, potongan-potongan daging babi dalam upacara adat suku Batak memiliki fungsi dan simbol yang sangat penting. Dan, tradisi itu sudah berlangsung lama. Bahkan diyakini sudah dimulai sejak ratusan tahun silam. Nah, selama ini tidak pernah ada gesekan-gesekan yang diakibatkan oleh tradisi memotong daging babi itu. Masyarakat dan pendatang hidup berdampingan secara rukun. Yang justru menjadi kekhawatiran adalah rencana Gubsu itu malah akan mulai mengganggu keharmonisan masyarakat yang selama ini sudah terbentuk dengan kuat.
Tak hanya pada ritual adat, daging babi juga dominan digunakan sebagai bahan baku utama dalam kuliner tradisional Batak. Sebut saja saksang, naniarsik, namargota, natinanggo, dan lain-lain. Jenis-jenis kuliner itu menjadi menu wajib yang lazim ditemui di rumah-rumah makan khas Batak. Jika penataan pemotongan hewan berkaki empat benar-benar akan dilakukan, saya khawatir rumah makan khas Batak yang ada di sekitar kawasan Danau Toba akan mengalami kerugian dari sisi pendapatan.
Pendeknya, kalau sampai kebijakan itu terealisasi, maka sesungguhnya Gubsu dan aparatur terkait sedang melakukan dua kesalahan besar. Pertama, mereka melakukan intervensi terhadap eksistensi adat dan budaya suku Batak yang sudah mendarah daging khususnya di kawasan Danau Toba. Kedua, mereka sedang menutup kran pemasukan penduduk lokal yang bergantung dari bisnis rumah makan atau restauran dengan menu kuliner khas Batak.
Seharusnya Gubsu lebih peka soal ini. Bukankah salah satu tugas utama seorang pemimpin adalah memastikan kesejahteraan pendududuknya? Selama ini banyak putra-putri daerah asal Taput, Tobasa, Samosir, Humbahas atau Simalungun yang merantu dan kuliah di luar daerahnya yang sudah berhasil. Coba ditelusuri. Tidak sedikit dari mereka yang orang tuanya membuka bisnis rumah makan khas Batak atau beternak babi (marmahan pinahan). Dari sanalah sumber utama pembiayaan pendidikan mereka selama ini.
Tidak terbayang apabila dengan kebijakan itu ekonomi masyarakat di sana akan menjadi lemah. Akan banyak orang tua yang harus mengalami kesulitan keuangan. Bisa-bisa anak-anak mereka yang sedang merantau karena sekolah atau kuliah harus terseok-seok pendidikannya. Atau, buruknya, mereka akan mengalami putus sekolah dan putus kuliah. Apakah Gubsu memikirkan jauh sampai ke sana?
Harmonis
Lagipula dalam konteks menjadikan Danau Toba sebagai KSPN, rencana penataan pemotongan babi agar tidak dilakukan di sembarang tempat itu sebenarnya bukan hal yang mendesak—untuk tidak menyebut salah kaprah. Mengutip dari laman Medanbisnisdaily.com (edisi Kamis, 29 Agustus 2019), Gubsu berujar begini kepada wartawan, “Tidak kalian bikin di sana mesjid, tak datang dia (wisman) itu. Sempat potong-potong babi di luar, sekali datang besok tak datang lagi itu.”
Mengenai ucapan Gubsu soal wisatawan yang dikhawatirkan tidak akan berkunjung lagi ke Danau Toba karena adanya pemotongan babi, rasa-rasanya Gubsu perlu memberikan data penelitian yang valid soal itu. Apakah memang benar naik turunnya jumlah kunjungan wisatawan, terutama mancanegara, mutlak dipengaruhi oleh tradisi menyembelih babi masyarakat lokal sebagai bagian dari budaya mereka? Atau justru ada hal-hal lain yang luput dari perhatian.
Lagipula, objek wisata dan budaya adalah dua hal yang saling terkait. Demikan halnya dengan Danau Toba yang selama ini dikenal sebagai kawasan wisata berbasis budaya. Dan budaya itu adalah budaya Batak. Daging babi dan kuliner tradisional suku Batak, seperti yang sudah disinggung di atas, merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Batak. Artinya, wisata dan budaya saling mendukung satu sama lain. Ini ibarat sepeda motor yang memiliki dua roda. Aturan penataan pemotongan babi sama saja seperti mencabut salah satu dari dua roda sepeda motor sehingga tidak akan bisa berjalan. Kalau pun bisa, jalannya akan sangat lambat karena harus ditarik atau diangkat.
Pepatah mengajari kita, “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Selama ini turis, baik lokal maupun mancanegara, cukup adaptif dengan tradisi masyarakat lokal. Setali tiga uang, penduduk lokal di kawasan Danau Toba terutama etnis Batak juga boleh dikatakan memiliki sifat apresiatif yang tinggi terhadap perbedaan. Lihat saja rumah makan berlabel halal cukup banyak ditemukan di wilayah sekitar kawasan wisata Danau Toba.
Kemudian kalau soal tempat ibadah, meski masyarakat muslim merupakan minoritas di sana, masjid-masjid sudah cukup banyak berdiri. Di Parapat, Kabupaten Simalungun ada Masjid Raya Taqwa yang sudah berdiri sejak tahun 1958. Di Porsea, Kabupaten Tobasa, terdapat Masjid Raya Al-Hidayah yang dibangun tahun 1964. Di Pangururan, Kabupaten Samosir, ada Masjid Al-Hasanah yang didirikan pada tahun 1959. Di Tuktuk, Kabupaten Samosir, ada Masjid Al-Ikhlas. Itu hanya sebagian contoh dan sekedar untuk meluruskan kata-kata Gubsu.
Keberadaan masjid-masjid yang sudah berusia cukup tua itu menjadi bukti kalau selama ini masyarakat sangat menjunjung tinggi toleransi lintas agama di kawasan Danau Toba. Sehingga pernyataan Gubsu tersebut agak aneh karena seolah-olah memberi kesan bahwa di sana tidak ada rumah ibadah bagi penduduk minoritas terutama kaum muslim. Dalam konteks yang lebih luas, ini secara tidak langsung menghakimi penduduk lokal sebagai masyarakat yang intoleran dan gerah dengan perbedaan.
Benahi Sektor Prioritas
Ketimbang mengurusi gagasan yang secara kasat mata kontraproduktif untuk kemajuan kawasan Danau Toba, Gubsu harusnya menilik lebih jauh dan memfokuskan waktu, tenaga, dan pikiran pada hal-hal yang lebih bermanfaat. Kalau boleh jujur sebenarnya tidak ada garansi bahwa wisata halal dan wisata syariah menjadi jawaban atas persoalan kualitas pariwisata di Danau Toba.
Semestinya Gubsu lebih memprioritaskan aspek-aspek vital seperti perbaikan lingkungan di Danau Toba, pembangunan infrastrukur terutama akses jalan dan sinergitas dengan Pemerintah Pusat dalam hal, misalnya, mengupayakan penerbangan langsung ke kawasan wisata di Danau Toba.
Apalagi dalam Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2014 jelas dinyatakan bahwa penataan ruang kawasan Danau Toba dan Sekitarnya memiliki dua aspek penting. Pertama, untuk mewujudkan pelestarian kawasan Danau Toba sebagai aek natio (air kehidupan) masyarakat ekosistem, dan kawasan kampung masyarakat adat Batak. Kedua, pengembangan kawasan pariwisata berskala dunia yang terintegrasi dengan pengendalian kawasan budi daya sesuai dengan daya dukung dan tampung lingkungan hidup serta adaptif terhadap bencana alam.
Rambu-rambunya sudah jelas. Semestinya kebijakan-kebijakan Gubsu berorientasi ke sana. Masyarakat Batak, terima atau tidak, dikenal keras dan kritis. Jangan sampai rencana Gubsu hanya akan memperbesar resistansi penolakan mereka. Sebagai penutup, bukan bermaksud memperkeruh suasana, sejak tahun 2009 hingga sekarang, gagasan untuk membentuk Provinsi Tapanuli marak disuarakan oleh masyarakat Batak dan para perantau. Salah satu keluh kesah mereka adalah karena selama ini pembangunan di daerah Tapanuli masih tertinggal. Jika kebijakan ini tetap dipertahankan, boleh jadi tuntutan mendirikan Provinsi Tapanuli akan semakin gencar disuarakan. ***
Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan, dan dosen PTS.