
Oleh: Sihar Sitorus Pane.
Pengembangan wisata Danau Toba sedang digencarkan. Kedatangan Presiden Joko Widodo dan jajarannya pada Juli lalu membawa angin segar kepada warga sekitar Danau Toba secara khusus dan masyarakat Sumatera Utara secara umum.
Danau seluas 1.130 km² yang terkenal akan keindahannya kini mulai diperhatikan oleh pemerintah pusat. Oleh tangan dingin Jokowi wilayah Danau Toba akan disulap menjadi daerah wisata kelas dunia sebagaimana Bali yang begitu tersohor keindahannya hingga ke luar negeri.
Seiring berjalannya waktu, hal yang seharusnya membanggakan tersebut malah menimbulkan kekhawatiran dari beberapa kalangan mayarakat Batak, terutama yang tinggal di sekitar Danau Toba. Pasalnya, pengembangan wisata kelas dunia ini turut membawa pencanangan wisata halal oleh Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi.
Menurut Edy, wisatawan mancanegara yang akan datang ke Danau Toba akan berasal dari negara-negara Muslim, seperti Brunei Darussalam atau Malaysia, dan berdasarkan pemikiran tersebut, Edy meminta kawasan Danau Toba dijadikan wilayah wisata halal.
Menelisik lebih dalam mengenai pencanangan oleh Gubsu ini, ada baiknya kita mengetahui definisi halal yang sebenarnya. Istilah halal haram melampaui persoalan semantik. Halal haram memiliki kriteria spesifik yang diatur oleh kitab suci agama; agama Islam memiliki aturannya, tidak terkecuali agama lainnya. Kita tahu bahwa agama bersifat pribadi dan seringkali penganut pun memiliki pengertian berbeda atas pengajaran agamanya, belum lagi antar keyakinan.
Secara harafiah halal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah diizinkan (tidak dilarang oleh syariat), yang diperoleh atau diperbuat dengan sah.
Jika disebut wisata halal, apakah mungkin ada wisata haram? Haram sendiri menurut KBBI adalah hal yang terlarang menurut agama Islam, dan terlarang oleh undang-undang atau tidak sah. Halal dan haram di sini tentunya menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat yang notabene beragama Kristen.
Saya tidak melihat pendekatan mayoritas-minoritas sebagai pendekatan yang arif dalam hal ini. Sebagai contoh: bagi kami mayoritas masyarakat Batak Toba yang tinggal di sekeliling Danau Toba tidak mengeluarkan Perda larangan kawin semarga. Bagi mereka yang melanggar, dengan sendirinya mereka pergi jauh-jauh agar tidak terlihat atau ketahuan atau membawa aib
Mengapa demikian? Karena larangan perkawinan semarga adalah suatu norma-norma sosial yang mengikat masyarakat Batak Toba. Masyarakat masih percaya bahwa kami tahu norma-norma kesopanan, termasuk menjaga kelestarian Danau Toba.
Bila yang dimaksudkan oleh Gubsu adalah pembangunan masjid atau tempat makan yang bisa dinikmati umat Muslim mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun akan menjadi masalah bila yang dimaksudkan malah menertibkan apa yang sudah menjadi adat istiadat dalam kehidupan mayarakat Batak, salah satunya penataan hewan berkaki empat agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum. Apabila Bapak Gubsu melihat ada yang salah dengan memotong babi di tempat umum, solusinya adalah tempat penjagalan, bukan wisata halal.
Mungkin dalam syariat Islam, babi merupakan hewan yang dilarang. Tetapi hewan berkaki empat seperti babi atau kerbau adalah bagian dari budaya Batak sejak lama. Melarang ternak dan pemotongan babi yang dicanangkan tersebut tentunya dirasa tidak menghormati adat masyarakat setempat.
Wisata halal yang dicanangkan oleh pemerintah menciptakan pemisahan atau segregasi antarumat beragama, bahkan suku bangsa. Bukankah Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama namun tetap satu di dalam Indonesia sebagaimana konsep Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan oleh para pendahulu negeri ini. Jika hal ini diterapkan tentu akan menciptakan diskriminasi antarsatu kelompok dengan kelompok yang lain.
Perlu diingat bahwa mayoritas penduduk setempat adalah Suku Batak dan beragama Kristen, di mana hewan seperti babi adalah makanan yang sah untuk dikonsumsi. Mengapa pemerintah begitu sibuk mengurusi kedatangan wisatawan tanpa memikirkan apa yang telah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat setempat?
Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang. Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut jangan mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka. Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi.
Apalagi istilah halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Kebijakan ini tentunya bukan sedang memperjuangkan affirmative actions, atau kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Kebijakan ini malah terkesan membunuh apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat dan tentu saja menghilangkan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan.
Perlu diketahui, menghormati budaya dan tradisi lokal itu adalah bagian dari Kode Etik Pariwisata Dunia, yang telah diratifikasi oleh UNWTO, di mana kegiatan pariwisata harus menghormati budaya dan nilai lokal (local wisdom) agar tidak meresahkan masyarakat di sekitar destinasi.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan juga dengan tegas disebutkan bahwa pengelolaan kepariwisataan sudah ada ketentuannya. Adapun aturan tersebut tercantum pada BAB III Pasal 5 yang berbunyi “Bahwa Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejahwantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia dan hubungan manusia dan lingkungan. b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan local. Dan lebih tegas lagi, dalam Bab V tentang Kawasan Strategis, Pasal 12 ayat 3 menyatakan bahwa Kawasan Strategis Pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan agama masyarakat setempat”.
Konsep halal dan haram hanya akan memberi kesan kesombongan rohani bagi sebagian orang karena siapapun tidak berhak merasa dirinya lebih baik dari yang lain, atau yang lain lebih berdosa daripada dirinya. Indonesia negara multikultural, multietnis, multiagama yang masing-masing memiliki keunikan yang harus dihargai dan Danau Toba salah satu dari bagiannya.
Bila menilik Bali, pengembangan pariwisata di Bali tidak pernah menambahkan halal di belakangnya. Bali memilih menjual keindahan alamnya dan budaya yang telah ada sejak dulu. Bahkan konsep ini ditolak secara terang-terangan oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster. Menurutnya tanpa embel-embel halal, Bali sudah memiliki brand sendiri yang menarik wisatawan untuk datang. Apakah kesuksesan Bali sebagai lokasi wisata kelas dunia masih diragukan?
Pariwisata halal mungkin bisa diterapkan di daerah wisata dengan penduduk mayoritas Muslim seperti Sumatera Barat dan Aceh. Bahkan Provinsi NTB sudah mempunyai Perda tentang Pariwisata Halal. Sebagaimana wisatawan yang datang ke sana harus menghormati dan menghargai apa yang sudah menjadi kultur dan kepercayaan setempat,***
Penulis Caleg DPR RI terpilih dari PDI Perjuangan Dapil Sumut 2 periode 2019-2024.