Oleh: Sofyan
DELIAR Noer dalam bukunya Masalah Ulama Intelektual atau Intelektual Agama mengharapkan agar Perguruan Tinggi Islam dapat menciptakan ‘ulama yang intelektual dan intelektual yang ‘ulama. Pendapat di atas mendapat dukungan dari Nur Ahmad Fadil Lubis dalam bukunya, ”Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Islam,” beliau menegaskan bahwa perguruan tinggi Islam dapat melahirkan sarjana yang bukan hanya sekedar intelektual tetapi memadukan antara sifat ilmuan, sifat intelektual dan sekaligus sifat orang yang dekat dengan Allah, dalam Alquran kelompok intelektual yang alim disebut dengan ulul albab.
Menurut beliau ciri khas yang melekat di dalam ulul albab, yaitu senantiasa berzikir dan berfikir, berpegang teguh pada kebaikan dan keadilan, terbuka, teliti dan kritis dalam menerima informasi dari orang lain, mengetahui sejarah dan mampu mengambil pelajaran dari kejadian masa lalu, rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk dihadapan Allah, patuh pada sistem hukum yang bersumber dari Alquran dan sunnah, memiliki ilmu dan hikmah, hanya takut kepada Allah, berdedikasi untuk menyebarluaskan ilmu, mengabdikan diri bagi kesejahteraan manusia dan menyampaikan kebenaran.
Untuk melahirkan mahasiswa sebagai ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Semua komponen pendidikan yang terdapat dalam Pendidikan Tinggi Islam di mulai dari tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, kurikulum, metode, evaluasi serta sarana dan prasarana diarahkan untuk membentuk mahasiswa seperti yang diharapkan.
Menurut Azyumardi Azra tujuan didirikannya Pendidikan Tinggi Islam ada tiga yaitu melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu Islam pada tingkat lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah, melakukan reproduksi dan kaderisasi ‘ulama dan fungsionaris keagamaan lainnya, baik pada birokrasi negara (Kementrian Agama), lembaga-lembaga sosial, dakwah dan pendidikan Islam swasta, melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam, sehingga Islam dapat dipahami dan dilaksanakan secara baik oleh mahasiswa dan kaum Muslimin umumnya.
Pada poin nomor dua dengan jelas tertera, tujuan pendidikan Islam sebagai kaderisasi ulama. Kata‘ulama bentuk jamak dari ‘alim, dalam kamus al-Munjid berarti orang yang sangat mendalam pengetahuannya. Menurut Hasbi Indra ulama secara terminologi seseorang yang ahli dalam ilmu agama Islam, baik menguasai ilmu fikih, ‘ilmu tauhid atau ilmu agama lainnya, mempunyai integritas kepribadian yang tinggi, berakhlak mulia serta berpengaruh di dalam masyarakat.
Pengertian ulama menurut Ensiklopedi Islam mengalami pengembangan makna seiring dengan perubahan zaman, yaitu orang yang mendalami ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah swt. yaitu al-‘ulum al-din dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal dan indera manusia dalam memahami ayat-ayat kauniyyah yang kemudian disebut dengan al-‘ulum al-insaniyyah. Dalam pengertian yang luas ulama tidak hanya menguasai ilmu agama saja, tetapi mereka yang menguasai ilmu-ilmu kauniyah.
Untuk menjadi ulama harus memiliki satu syarat yaitu “mampu membaca kitab kuning”. Menurut Zamaksyari Dhofier prasyarat untuk bisa diakui sebagai ulama yaitu menguasai kitab kuning. Pandangan yang sama diutarakan Saifuddin Zuhri seorang tokoh NU yang menjelaskan bahwa kitab kuning memiliki peranan penting untuk menentukan ke’ulamaan seseorang.
Untuk dapat membaca kitab kuning maka mahasiswa harus memiliki kompetensi di bidang bahasa Arab dengan menguasa gramatika bahasa Arab. Menurut Arif Furchan agar mahasiswa di perguruan tinggi Islam dapat bersaing di era globalisasi maka harus menguasai tujuh kompetensi yaitu kompetensi berbahasa Arab, kompetensi dasar keislaman, kompetensi berbahasa Inggris, kompetensi menggunakan komputer, kompetensi berkaitan dengan sikap kerja, keimanan dam ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, disiplin, kejujuran, ketelitian, tanggungjawab, kematangan emosi, inovatif dan profesional, kompetensi untuk bekerja sama dengan orang lain serta kompetensi mengekspresikan diri.
Sebagai mahasiswa yang dipersiapkan menjadi ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan kepribadian yang baik. Nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam kitab-kitab kuning membentuk karakter mahasiswa menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. berakhlak mulia, luas wawasan keislaman dan dapat menjadi tauladan bagi yang lain.
Dengan wawasan keislaman yang luas disertai kepribadian yang mulia menjadi faktor pendukung untuk dapat membentuk umat Islam berkarakter, berperadaban, dapat memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang ada di dalam masyarakat, dapat membentengi umat Islam dari berbagai pengaruh aliran-aliran yang menyimpang. Pengaruh modernisasi tidak selalu berdampak positif bagi umat Islam, dampak negatif modernisasi melahirkan sekularisasi, krisis iman, nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai religius kehilangan daya legimitasi yang efektif. Maka mahasiswa sebagai kader ‘ulama memegang peranan penting menguatkan keyakinan umat terhadap agamanya.
Beratnya tantangan dakwah di era globalisasi mengharuskan mahasiswa menjadi pribadi yang kuat iman, ilmu, amal dan kitab kuning dari berbagai bidang menguatkan keimanan dan pemahaman keislaman mahasiswa dalam menghadapi modernisasi. Sebaliknya, misi untuk memasyarakatkan, menerapkan pengetahuan ilmu keislaman dalam rangka memecahkan masalah sosial keagamaan di tengah masyarakat tidak akan terlaksana dengan baik jika mahasiswa lemah dalam menguasai kitab kuning.
Ulama Takut kepada Allah
Alquran Surat Fa?ir ayat 27-28,”..Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Ciri ulama yang terdapat dalam ayat Alquran di atas yaitu takut kepada Allah.
Menurut A?mad Mu??afa al-Maragi dalam Tafsir al-Maragi ulama adalah orang yang takut kepada Allah, kemudian menjaga diri dari azab Allah dengan jalan melakukan bakti dan taat kepada Allah. Badruddin al-Kinani menegaskan bahwa orang ‘alim itu adalah orang yang takut kepada Allah dan ‘ulama adalah orang yang takut kepada Allah swt. dan orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia”.
Dalam tafsir Mafati al-Gaib karangan ar-Razi bahwa orang alim yang mengenal Allah, akan takut kepada-Nya dan berharap pada kebaikan-Nya. Hal ini menegaskan bahwa mereka yang alim lebih tinggi derajatnya dari ahli ibadah, seperti ayat Allah yang mengatakan bahwa orang yang paling mulia adalah mereka yang paling bertaqwa. Kemuliaan di ayat ini diukur dari ketaqwaan dan ketaqwaan tidak dapat diraih kecuali dengan ilmu sehingga secara tidak langsung ketaqwaan diukur dari ilmu seseorang yang menjadikannya taqwa.
Menurut az-Zamaksyari dalam tafsir al-Kasysyaf ulama adalah orang yang mengenal Allah dengan semua sifat dan keadilan-Nya serta mentauhidkan-Nya, mengetahui apa yang boleh bagi Allah dan yang tidak boleh, mereka agungkan Allah dan takut hanya kepada-Nya. Semakin bertambah ilmunya maka akan akan semakin takut kepada Allah. Diriwayatkan dari masruq, ia berkata: “orang yang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah, sedang orang yang bodoh itu adalah orang yang merasa ta’jub dengan ilmunya”.
Di dalam hadis Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ulama pewaris Nabi,”Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Dawud).
Setelah Nabi wafat para ulama menjadi generasi penerus yang melanjutkan tradisi mewariskan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Mereka tidak meninggalkan dinar tetapi meninggalkan ilmu. Badruddin al-Kinani mengatakan,”Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para Nabi.
Badruddin al-Kinani menjelaskan bahwa ulama adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan bentuk kemudaratan.
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa ulama adalah orang yang mengenal Allah dengan semua sifat, keadilan dan mentauhidkan-Nya, menggunakan akal untuk membaca, merenung dan memikirkan alam ciptaan Tuhan (‘alam kauniyyah), memiliki ilmu pengetahuan luas, senantiasa mengajak kepada kebaikan, dapat menjelaskan antara halal dan haram, melaksanakan perintah menjauhi larangan-Nya sehingga bertambah kuat iman, taqwa, ihsan, bertambah kedekatan serta takutnya kepada Allah swt. untuk menjadikan mereka sebaik-baik manusia, yang menerangi umat dari kegelapan dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Sifat mulia yang dimiliki para ulama menjadikan mereka pewaris Nabi yang diangkat derajat serta mendapat ampunan Allah swt.
Sebagai pribadi yang takut kepada Allah ulama tidak melakukan penemuan dan pengetahuan yang dapat meresahkan masyarakat, merusak ajaran Islam dan berani mengeluarkan pernyataan bertentangan dengan ajaran Islam yang hak. Wallahu’alam.
Penulis dosen di STAI Darularafah Deli Serdang, penerima beasiswa 5000 Doktor Kementrian Agama Islam RI angkatan 2015