Sahabatku Nina

sahabatku-nina

Oleh: Hidayah Nurila Phasa

Cahaya pagi membangunkanku, mengajakku untuk segera bangun dan berangkat ke sekolah. Bertemu teman-teman dan belajar sesuatu yang baru di sekolah.

Aku biasa dipanggil Nay, panggilan dari sebuah nama yang panjang seperti kereta api, Hidayah Nurmawar Nayla Wisda Sinegar. Entah hal apa yang membuat orangtuaku memberiku nama sepanjang itu.

Aku anak tunggal di keluarga yang serba kecukupan, tak berlebihan ataupun kekurangan. Bagaimana pun kondisi keluargaku, tak membuatku iri terhadap teman-temanku.

Di sekolah aku juga memiliki seorang sahabat. Dia cantik, baik, pintar dan selalu ramah. Penampilannya pun sederhana hingga membuatku lebih bisa berteman dekat dengannya.

Berawal dari kelas yang sama dan berbagi meja saat kami baru memasuki Sekolah Dasar, membuatku lebih nyaman bersamanya.

Aduh, sudah siang nih! Kalau aku cerita terus, aku bakal terlambat ke sekolah. Bunda sudah memanggil-manggilku sedari tadi untuk sarapan.

Aku turun untuk sarapan bersamanya. Ayah sudah berangkat kerja sehingga hanya tinggal aku dan Bunda. Tak apalah, Ayah 'kan kerja cari nafkah untuk menghidupi keluarga kami.

* * *  

Aku sekarang sudah di kelas, duduk berdua dengan sahabatku. Dia bernama Nina, eh namanya tak kalah panjang dari namaku loh. Saranina Melati Arum Dewi Sekarsari. Nah, 'kan sama-sama berunsur bunga?

Kesederhanaan Nina membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya, kini aku duduk di bangku kelas 5 SD. Sudah lima tahun aku berteman dengan­nya. Dia juga anak tunggal seperti aku. Tapi ayahnya sudah tak ada semenjak ia berumur empat tahun. Kata mama Nina, ayahnya sudah di surga.

Nina sering ke rumahku untuk bermain ataupun belajar bersama. Kami sering bermain sepeda di sore hari usai mengaji di masjid dekat rumahku. Selama itu pula aku tak pernah bermain ke rumah Nina karena ibu melarang.

Ah, berteman dengan Nina sungguh mengasyikkan! Walaupun terkadang ia suka usil tapi aku tetap betah berteman dengannya. Di sekolah aku juga memiliki banyak teman. Walaupun aku lebih dekat dengan Nina tak membuatku melupakan teman-temanku yang lain.

Memiliki banyak teman membuatku bahagia. Aku merasa memiliki saudara-saudara yang selalu setia membantuku dan selalu menemaniku hingga aku tak merasa kesepian karena aku anak tunggal di rumah.

* * *  

Suatu hari, Nina tak masuk sekolah. Entah kenapa. Eh, ternyata bukan hari itu saja, melainkan sudah hampir tiga hari ia tak masuk sekolah. Aku mulai khawatir dengan keadaannya, apa yang terjadi dengannya. Bagaimana untuk mendengar kabar dari Nina, alamat rumahnya pun aku tidak tahu.

Selama tak ada Nina membuatku merasa sepi, lebih sepi lagi di saat aku harus benar-benar berhenti sekolah karena kondisi keluargaku. Sudah seminggu lebih aku tidak masuk sekolah dan Nina pun tak pernah lagi berkunjung ke rumah. Ini membuatku semakin sedih.

Mungkin Nina sudah tak mau berte­man lagi denganku, dengan anak miskin seperti aku. Tapi aku salah, hari Minggu kemarin, Nina datang ke rumahku membawakanku surat dari sekolah bahwa aku masih bisa sekolah di sana.

Aku tak tahu apa yang membuat seko­lah mau menerimaku lagi. Aku mendapat jawabannya ketika Nina mengajakku pergi ke suatu tempat. Kami menunggu di jalan raya, aku kira kami akan naik angkot atau becak. Tapi sudah beberapa angkot dan becak yang melewati kami tak kunjung diberhentikan juga.

Sebuah mobil mewah berhenti di depan kami, seseorang keluar dari mobil membukakan pintu. Aku yang ragu terpaksa masuk karena Nina mengajak­ku.

“Pak, tadi mama telepon, sebelum kita ke toko buku mama minta kita ke rumah sakit dulu,” ucap Nina ramah kepada Pak Sopir.

Aku hanya diam, aku masih bingung dan ragu untuk bertanya. Aku tak ingin pertanyaanku menyinggung perasaan­nya.

Tak lama kami sampai di rumah sakit. Kami bertiga memasuki ruangan yang di dalamnya terdapat seorang wanita terbaring lemah. Ternyata itu mama Nina yang sedang sakit, yang membuatnya beberapa hari tak masuk sekolah karena menemani mamanya.

Mama Nina sangat baik padaku, hingga yang membuatku tercengang saat dia memberi Nina uang hanya untuk membeli perlengkapan sekolahku, dan yang membuatku kembali ke sekolah adalah mereka. “Karena kamu teman baik Nina, jadi tidak ada salahnya kalau Tante membantu kamu,” ucapnya.

Jadi, selama ini Nina adalah orang berada alias orang kaya? Dia lebih-lebih segalanya daripada aku. Yang membuat aku sulit percaya karena penampilan Nina yang sederhana dan tak pernah mema­merkan kekayaan seperti teman-teman yang lain.

Saat aku bertanya kepada Nina tentang apa yang dimilikinya, membuatku terenyuh dengan kalimatnya. “Ngapain juga harus dipamerkan? Toh ini hanya sementara. Ini hanyalah titipan Allah yang diberikan kepadaku untuk memban­tu saudara-saudaraku. Kan kata orang di atas langit masih ada langit.”

Sahabatku yang satu ini memang benar-benar baik! Bersahabat dengannya membuatku berkaca diri untuk selalu bersyukur dengan apa yang aku punya.

Dan itulah teman, selalu ada di setiap kita kesusahan. Memiliki banyak teman adalah anugerah yang tak tertandingi. Sekaya apa pun orangtuamu, sebanyak apa pun hartamu, tak akan berarti apa-apa jika tak diimbangi dengan keseder­hanaan dan berbagi.

 

* Bojonegoro, 20 Juli 2014

* Penulis tinggal di Jalan Ringroad Selatan, Tamanan Wetan, No. 84, RT 03/ RW 05, Banguntapan Bantul, Yogya­karta.

()

Baca Juga

Rekomendasi