Oleh: James P. Pardede
Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Persampahan di Kota Medan diharap bisa menyadarkan masyarakat agar dapat menjaga kebersihan, khususnya di sekitar tempat tinggal sendiri. Sanksi apa pun yang diberikan kepada masyarakat yang membuang sampah sembarangan, baik berupa kurungan badan atau denda ratusan ribu sampai jutaan rupiah, eksekusinya di lapangan masih jauh dari harapan.
Padahal, untuk menerbitkan sebuah Perda butuh waktu yang sangat panjang dan anggaran yang tidak sedikit. Dimulai dari rancangan peraturan daerah, kemudian studi banding, tahap pembahasan dan akhirnya terbitlah sebuah Perda.
Setelah ada Perda, perlu waktu untuk sosialisasi dan diatur dalam peraturan walikota yang akhirnya semakin memperkuat penerapan Perda ini di lapangan.
Apakah dengan adanya Perda ini permasalahan sampah langsung teratasi? Belum tentu. Butuh waktu yang sangat panjang untuk menyadarkan masyarakat dan kesiapan pemeritah dalam menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah sementara di beberapa titik yang diharapkan dapat mengurangi volume sampah di beberapa tempat yang dijadikan tempat pembuangan sampah sementara dengan sembarangan.
Untuk mengatasi permsalahan sampah di Kota Medan, pemerintah harus lebih siap dalam banyak hal termasuk perlengkapan dan sarana transportasi pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Perlu juga sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya memilah sampah.
Kampanye tentang pentingnya memilah sampah saat ini sudah dilakukan di sekolah, kampus, di instansi pemerintah sampai kepada ibu-ibu rumah tangga. Proses pemilahan sampah sangat membantu kita dalam melakukan proses daur ulang sampah.
Sampah yang setiap hari kita produksi pun sebenarnya sudah menjadi permasalahan yang sangat menyita waktu dan pikiran dalam menanganinya. Sama halnya dengan limbah, pemerintah memberlakukan pentingnya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di setiap jenis usaha seperti rumah sakit dan industri besar lainnya.
Tidak hanya permasalahan sampah, permasalahan kerusakan lingkungan pun semakin mengemuka ketika dunia menyatakan perang terhadap perusak lingkungan. Isu pemanasan global (global warming) telah menjadi isu yang sangat sentral bagi negara-negara berkembang dan negara sedang berkembang.
Berbagai upaya saat ini dilakukan untuk mengembalikan kelestarian alam, mulai dari penanaman pohon, meminimalisasi penggunaan bahan berbahaya yang sulit untuk didaur ulang. Pengolahan sampah menjadi bahan yang berguna sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk ibu rumah tangga.
Jika berbicara tentang sampah atau limbah, beberapa perusahan pun saat ini sedang berlomba-lomba untuk melakukan pengolahan kembali limbah yang mereka hasilkan. Ini semata-mata dilakukan bukan hanya untuk mendapatkan sertifikat ISO atau sekedar pengakuan nasional atau internasional bahwa perusahaan tersebut ramah terhadap lingkungan.
Sampah atau limbah yang selama ini dianggap menimbulkan pencemaran lingkungan, menimbulkan bau busuk yang tak sedap dan berbagai sebutan lainnya sebenarnya masih bisa dimanfaatkan. Paling tidak, sebagian sampah masih bisa diolah menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia, antara lain mengolahnya menjadi kompos.
Pemanfaatan daur ulang sampah menjadi kompos sampai kapanpun selalu bernilai ekonomis. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang yang sangat bagus.
Daur ulang merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.
Di samping menghemat sumber daya alam, energi, lahan TPA, juga membuat lingkungan asri, upaya daur ulang sampah dilingkungan sendiri tak hanya bernilai ekologis, tetapi juga ekonomis. Telah banyak pernak-pernik hasil olahan daur ulang kertas diperjual belikan, daur ulang kaca, botol plastik dan sampah lainnya yang seteleh diolah sedemikian rupa bisa bernilai ekonomis. .
Disadari atau tidak, dengan alasan ekologis ataupun ekonomis sekalipun setiap upaya mendaur ulang sampah, baik kertas, plastik, dedaunan maupun limbah rumah tangga apapun menjadi bagian dari upaya menyelamatkan lingkungan.
Kemudian, sampah organik seperti sayuran, buah-buahan bisa dijadikan sebagai bahan baku kompos, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemilahan sampah atau limbah sesuai jenis. Saat ini memang masih terasa sulit memilah-milahnya. Namun, bila sejak awal sudah dibiasakan dari rumah, pemilahan akan lebih mudah dilakukan.
Sampah organik dapat dibuat menjadi kompos hanya dalam waktu dua minggu, sisanya memerlukan waktu lebih lama. Sisanya, sebanyak 15-20 persen sampah organik yang tak terurai akan dibakar dan arangnya bisa dimanfaatkan untuk menaikkan pH tanah dan mengikat unsur logam berat yang beracun.
Dengan demikian, pembuatan kompos dari sampah organik akan sangat menguntungkan. Masyarakat petani pun bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Sebagai asumsi, 1 kg sampah organik bisa menghasilkan 0,6 kg kompos, dalam sehari bisa dihasilkan 2.100 ton kompos.
Dalam sebulan tersedia 63.000 ton kompos. Jika tiap kg kompos dijual dengan harga Rp 200, gross income per bulannya mencapai 12,6 miliar dan net income Rp 6,3 miliar. Lumayan besar. Ternyata, dengan hanya mendaur ulang sampah saja rupiah bisa didapat.
Beberapa sekolah dan kampus saat ini sedang serius dalam menerapkan program daur ulang sampah, dimana setiap siswa diajak untuk mengumpulkan sampah dan memilah sampah ke dalam wadah yang telah disediakan.
Kemudian, secara berkelompok siswa atau mahasiswa mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah plastik atau benda padat lainnya dikelola sedemikian rupa kemudian dijual. Selain mendapatkan uang untuk kebutuhan kegiatan siswa dan mahasiswa, manajemen sampah yang mereka lakukan akan mengakar dan bisa ditularkan kepada generasi berikutnya.
Paling tidak, dengan melakukan regenerasi manajemen sampah yang baik, ada harapan ke depan masyarakat dan generasi muda kita memiliki kepedulian dalam mengelola sampah dan bisa mengurangi tumpukan sampah yang bau dan merusak estetika lingkungan tempat tinggal kita.
(Penulis adalah pengajar, peduli dan pecinta lingkungan)