
Oleh: Muhammad Zubeir Sipahutar.
Banyak para sarjana, intelektual, maupun kaum muda Indonesia yang fasih berbicara mengenai sejarah pemikiran Yunani kuno hingga Eropa modern. Namun, ketika membicarakan sejarah bangsanya sendiri, mereka gagap atau cuma mengikuti teks-teks historis maupun sastra arus utama, sehingga gagal mengenali negerinya sendiri. Setidaknya, itulah kritik yang dilontarkan oleh Max Lane, seorang Indonesianis asal Australia dan sosok yang kali pertama menerjemahkan Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris.
Dalam rangka ingin memperkenalkan sejarah bangsa yang terkandung dalam Bumi Manusia kepada generasi muda saat ini, Hanung Bramantyo memfilmkan novel legendaris itu ke layar kaca. Untuk menarik minat millenial, tokoh Minke pun diperankan oleh Iqbal Ramadhan yang notabene adalah idola baper kaum millenial. Film ini ditayangkan perdana pada 15 Agustus 2019. Bersumber dari akun instagram Film Indonesia, film Bumi Manusia berhasil mendapat jumlah penonton sebanyak 725.428 orang setelah seminggu tayang.
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah karya yang fenomenal. Fenomenal bukan hanya dari segi isi yang menggambarkan perjuangan pribumi melawan diskriminasi kolonial, tetapi juga dari terbit hingga beredarnya buku ini. Bahkan untuk membacanya saja pun harus berjuang. Karena masa orde baru buku ini pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung RI dengan surat larangan nomor SK-052/JA/5/1981. Sejak larangan itu keluar, beberapa orang mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku itu (BBC.com).
Namun berkat buku ini pula, Pram pernah dinominasikan kuat menerima nobel, dan karyanya dilabeli sebagai “karya Indonesia untuk dunia”. Meskipun SK larangan dari pemerintah hingga kini belum dicabut, tetapi buku Bumi Manusia dan berbagai karya-karya Pram sudah beredar luas di toko buku seluruh Indonesia dan bebas dibaca kapan saja tanpa perlu merasa takut lagi.
Sekilas Sejarah Pribumi
Kata pribumi marak digunakan pada masa orde baru, menggantikan kata bumiputera yang digunakan sebelumnya. Asal-usul istilah ini berasal dari penyematan oleh kolonial Belanda. Saat itu, mereka menyebut penduduk setempat dengan sebutan ‘inlander’. Sebutan itu bermakna peyoratif (merendahkan, lengkap dengan sifat-sifat buruk yang disematkan). Namun, para founding fathers kita tak kalah akal, mereka mencari padanannya. Inlander dipadankan dengan bumiputera, dengan makna amelioratif (meninggikan, dengan makna yang lebih positif). Bumiputera menjadi sebuah konsep perjuangan yang menyatukan dan membangkitkan semangat. Melalui diksi bumiputera, para pejuang kebangsaan berdiri melawan kolonialisme Belanda.
Pada dasarnya pemerintah kolonial cenderung melakukan diskriminasi terhadap kaum inlander. Misalnya di ruang-ruang publik khusus untuk orang-orang Eropa, tertulis pengumuman: "Verboden voor honden en Inlander" (terlarang untuk anjing dan pribumi). Dalam pengumuman tersebut dapat dilihat bagaimana pribumi disandingkan dan dianggap setara dengan anjing. Jelas, menyamakan pribumi dengan anjing adalah hal sangat menghina. Itulah mengapa sejak awal masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, kaum nasionalis Indonesia mulai menolak untuk menggunakan kata inlander.
Politik hukum kolonial membagi penduduk Hindia-Belanda menjadi tiga golongan besar, yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing (mayoritas penduduk Tionghoa), dan pribumi. Pada posisi ini, pribumi berada pada golongan terendah. Pembagian golongan penduduk ini pada akhirnya berkembang sedemikian rupa, seiring dengan kebijakan politik dan ekonomi kolonial. Meminjamkan konsep Mackie dan Coppel disebut sebagai “Struktur Kasta Kolonial” yaitu sistem sosial dengan stratifikasi sosial yang pada dasarnya bersifat rasial. (Agus Ngadino:2009).
Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement (peraturan pemerintah) atau RR yang membagi golongan penduduk. Tak ada lagi pengecualian soal agama. Hanya, yang sudah dipersamakan tetap berlaku. Pada RR lama tidak ada Timur Asing karena mereka dipersamakan dengan bumiputera. Akhirnya, pada 1926 lahir Indische Staatsregeling (Peraturan Kenegaraan Hindia) atau IS. Pasal 161 mengatur pembagian tiga golongan penduduk yang mengukuhkan RR baru. Sedangkan, pasal 131 mengatur hukum yang berlaku pada tiga golongan penduduk tersebut. Pasal 131 juga mengatur memungkinkan bagi golongan Timur Asing dan bumiputera mengikut ke hukum Eropa. Pembagian golongan penduduk ini bukan sekadar kategorisasi, tapi memiliki dampak di bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan permukiman.
Sejak peristiwa-peristiwa akhir tahun 1926 dan permulaan tahun 1927, masalah-masalah penguasa pribumi, pengaruh mereka terhadap rakyat dan kedudukannya di dalam susunan pemerintahan Hindia-Belanda telah menarik perhatian di dalam pers maupun di dalam Volksraad (dewan rakyat). Dalam hal ini, mulailah dibentuk pandangan negatif mengenai masyarakat pribumi, salah satunya dengan menganggap pribumi itu sebagai golongan yang malas dan lemah. Di samping itu, para penguasa pribumi juga mulai memiliki masalah-masalah dalam kepemimpinannya, sehingga menguatkan citra buruk terhadap pribumi.
Identitas manusia Indonesia oleh orang Belanda disebut sebagai pribumi dengan segala citra inferioritasnya. Melalui bentukan identitas yang distortif dan politis, penjajah berusaha mencapai legitimasi untuk menguasai dan mendominasi. Pada konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Edward Said, relasi antara orang-orang Timur (pribumi Indonesia) dengan orang-orang Barat (golongan Eropa) adalah hubungan kekuasaan, dominasi, dan kompleksitas hegemoni. Oleh karena itu, citra orang-orang Timur yang dibangun oleh Barat (penjajah) bukanlah citra sebenarnya, namun lebih pada pencitraan penuh distorsi dengan tujuan untuk menguasai.
Perwujudan empiris historisnya, ideologi kolonial memanfaatkan gagasan tentang pribumi yang malas untuk membenarkan praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan dalam mobilisasi tenaga kerja koloninya. Ia menggambarkan citra negatif tentang pribumi untuk membenarkan dan mencari alasan penaklukan dan penguasaan Eropa atas suatu wilayah.
Selama masa kolonialisasi, Belanda melakukan diskriminasi struktural pendidikan berdasarkan identitas dan status sosial yang melekat pada diri masyarakat, yaitu dengan menerapkan demarkasi akses pendidikan bagi orang-orang Belanda di Indonesia, kaum bangsawan, dan rakyat biasa Indonesia. Hanya kaum bangsawan (elit pribumi) yang memiliki kedekatan dengan Belanda yang diberi akses di sekolah-sekolah Belanda di Indonesia. Namun tidak untuk rakyat biasa lainnya, sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengenyam pendidikan. Dan gambaran inilah yang terlihat di Bumi Manusia.
Pesan di Bumi Manusia
Melihat diskriminasi kolonial terhadap pribumi yang begitu kuat, maka tak heran jika Bumi Manusia menjadi salah satu alat propaganda perlawanan. Melalui karyanya itu, Pram menyampaikan bahwa senjata perlawanan yang cukup ampuh adalah tinta dan kertas yang disatukan menjadi sebuah tulisan. Hal ini bisa terlihat dari propaganda tulisan yang dibuat oleh Minke di koran NV yang mampu menyulut rasa keadilan rakyat pribumi. Dan Pram sudah membuktikannya, ia melawan dan mengkritisi orde baru dengan tulisan dan karya-karyanya.
Jadi nilai dalam novel Bumi Manusia ini sejatinya bukan hanya tentang kisah cinta, tetapi juga mengandung gagasan pergerakan, perlawanan atas ketidakadilan, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, kecintaan pada buku, serta pembuktian bahwa tulisan adalah senjata.***
Penulis adalah anggota Komunitas Mikir (Komik) dan peneliti junior di CISDEV USU.