AKSI demonstrasi di Hong Kong (HK) telah memasuki bulan ke tiga, memecah rekor aksi unjuk rasa terpanjang yang pernah terjadi di wilayah itu. Selain itu, jumlah pengunjuk rasa yang ikut dalam demo tersebut juga memecahkan rekor. Tapi meski begitu lamanya aksi berlangsung dan begitu banyaknya yang ikut dalam aksi ini, demo massal itu semakin kehilangan maknanya. Tujuan awal demo, menuntut dibatalkannya RUU Ekstradisi, meluas menjadi tuntutan demokrasi lebih besar. Sasaran aksi, yang semula pada gedung-gedung pemerintahan yang pro-Beijing, kini meluas ke sarana-sarana publik, termasuk bandara udara. Demo ini kini tak cuma ‘menyusahkan’ pemerintah Hong Kong tapi juga ‘menyusahkan’ warga jelata Hong Kong. Selain itu, bayang-bayang akan turunnya tentara Tiongkok untuk mengakhiri demo, semakin membuat wajah Hong Kong semakin kelabu.
Kalau kita lihat ke belakang, pemicu awal demonstrasi ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan persoalan politik. Di awali dengan larinya seorang tersangka kriminal dari Makau ke Hong Kong. Tersangka ini sengaja lari dari Makau, yang dikuasai penuh Tiong-kok, menuju Hong Kong, yang memiliki sistem hukum tersendiri yang terpisah dengan Tiongkok. Dengan berada di Hong Kong, maka tersangka tersebut tidak bisa diekstradisi ke Makau atau wilayah Tiongkok lain untuk diadili berdasarkan UU Tiongkok. Hong Kong dan Tiongkok tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Menyikapi ini pemerintah Beijing pun mengusulkan kepada pemerintahan khusus Hong Kong untuk menyusun RUU ekstradisi yang memungkinkan tersangka di Hong Kong diekstradisi ke Tiongkok. Beijing sejak lama memang resah dengan persoalan ekstradisi Hong Kong-Tiongkok. Banyak penjahat ekonomi maupun mata-mata asing, terutama yang bermusuhan dengan Tiongkok, menjadikan Hong Kong sebagai basis mereka sebab mereka tidak bisa dijangkau oleh Beijing meski mereka beroperasi di Hong Kong yang sebenarnya wilayah Tiongkok.
Tapi RUU ekstradisi ini sangat dicurigai oleh warga Hong Kong, yang memang sangat mencurigai apa pun yang dilakukan pemerintah Beijing di wilayah mereka. Warga Hong Kong menterjemahkan RUU ekstradisi itu sebagai upaya legal Beijing untuk menangkapi para aktivis demokrasi Hong Kong dan mengekstradisinya ke Tiongkok, sebuah kecurigaan yang tidak salah juga. Maka aksi unjuk rasa besar-besaran menentang RUU ekstradisi ini wajar mendapat dukungan sangat luas dari penduduk Hong Kong.
Tapi RUU ekstradisi ini telah pun dihentikan. Pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, secara resmi mengumumkan bahwa mengingat penentangan luas warga Hong Kong atas RUU itu, maka ia memilih untuk menghentikan pembahasan RUU ekstradisi itu bahkan menyebut RUU itu sudah mati. Jadi sebenarnya tuntutan pengunjuk rasa untuk menolak RUU itu telah terpenuhi. Lalu mengapa aksi demo tidak berhenti bahkan semakin luas ?. Para aktivis Hong Kong dan para pendukung mereka di dalam dan luar negeri, melihat bahwa aksi unjuk rasa massal ternyata mampu menekan Beijing, yang secara perlahan tapi pasti berusaha merubah kehidupan demokrasi di Hong Kong. Mereka melihat demo massal ini sebagai momentum untuk mencegah Beijing mencengkram demokrasi Hong Kong, karena itu meski tututan mereka bagi pembatalan RUU ekstradisi telah terpenuhi, mereka tak menghentikan demo. Tuntuan mereka kini beralih pada: hak pilih penuh dalam pemilu.
Apakah tuntutan ini juga akan dikabulkan Beijing ?. Melihat respon Beijing dalam aksi demo di Hong Kong, banyak yang terkejut. Sebagai sebuah negara komunis, pemerintah satu partai, yang otoriter, Beijing menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Hingga aksi demo memasuki bulan ke tiga, dengan pengunjuk rasa yang sangat berani bentrok dengan aparat keamanan Hong Kong serta memblokir fasilitas-fasilitas publik, pemerintah Tiongkok menahan diri untuk tidak mengitervensi, tapi lebih memilih menyerahkannya kepada pemerintahan lokal Hong Kong. Mereka juga rela RUU yang mereka usulkan ditolak. Tapi tuntutan lanjutan itu: hak penuh warga Hong Kong dalam pemilu, jelas telah melanggar garis merah yang dibuat Beijing. Ini tak akan ditolerir Tiongkok. Memberikan hak demokrasi penuh di Hong Kong akan mengakibatkan munculnya pemimpin Hong Kong yang menjabat dari hasil pemilu, bukan tunjukan Beijing seperti selama ini. Akan sulit bagi Beijing mengontrol Hong Kong dengan pemimpin demikian, karena itu Beijing akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah ini terjadi, tak peduli oleh aksi demo yang diikuti berapa juta pun pengunjuk rasa.