Sengketa Lahan di Sumut 420 Kasus

Sengketa Lahan di Sumut 420 Kasus
Ilustrasi Sertifikat Tanah (Analisadaily/Internet)

Analisadaily (Medan) - Komisi A DPRD Sumut menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut, Senin (2/12) untuk mengetahui persoalan sengketa lahan yang ada di Sumut. Dalam RDP tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut Bambang Priono menyebutkan, ada 420 kasus sengketa lahan yang terjadi di wilayah Sumut dan 55 kasus konflik lahan di Sumut.

"Perkara yang paling banyak akhir-akhir ini karena keberatan masyarakat terkait nilai besaran ganti rugi tanah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol Tebingtinggi-Kuala Tanjung dan Tebingtinggi-Pematangsiantar," kata Bambang.

Dijelaskan, sengketa konflik yang terjadi di Sumut antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan BUMN/BUMD, masyarakat dengan badan hukum swasta dan antar badan hukum swasta.

"Itulah banyaknya permasalahan yang ada di Kanwil BPN Sumut, tapi yang menonjol adalah pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait besaran ganti rugi, karena masyarakat tidak mau menerima hasil penilaian dari KJPP atau tim appresial. Sedangkan BPN tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan besaran ganti rugi itu. BPN hanya dapat memusyawarahkan bentuk ganti rugi, bisa bentuk uang atau barang," ungkapnya.

Bambang juga mengungkapkan, persoalan lahan yang hampir 20 tahun tidak tuntas yaitu terkait penyelesaian lahan eks HGU PTPN II seluas 5.873 hektare. "Ini tidak selesai karena tidak ada komunikasi dan koordinasi baik antara PTPN dengan pemerintah provinsi, pemerintah provinsi dengan BPN dan BPN dengan PTPN II, saling tunjuk-tunjukkan tidak ada komunikasi yang baik," imbuhnya.

Namun, lanjutnya, setelah Oktober 2016, saat ia ditunjuk Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk menjadi Kepala BPN Sumut, ia diminta untuk menyelesaikan perkara lahan yang tak kunjung selesai tersebut. "Akhirnya saya berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan PTPN II untuk menyelesaikannya. Saat itu dibentuk tim oleh gubernur," ungkapnya.

Dia mengungkapkan, kewenangan penyelesaian sengketa eks HGU PTPN II ada di tangan gubernur. “Kenapa gubernur, karena itu terdiri dari beberapa kabupaten, yakni Langkat, Binjai, Deliserdang, dan Sergai. Lalu 2017 dibentuk tim oleh gubernur untuk penyelesaiannya," ungkapnya lagi.

BPN dalam persoalan ini berwenang di akhir sengketa bukan di hulu. Artinya, setelah selesai proses administrasi antara Gubernur dan PTPN selaku pemegang saham, barulah BPN untuk membuat sertifikat tanah.

"Tapi BPN diminta untuk membantu, maka kita bantu yang mana masyarakat penggarap mengajukan permohonan untuk masuk dalam daftar nominatif guna disampaikan kepada gubernur, tim yang dibentuk gubernur lalu bekerja untuk menetapkan daftar nominatif yang akan diusulkan kepada Menteri BUMN melalui PTPN II. Caranya dengan menginventarisasi eksisting penggarap dengan mengacu kepada inventarisasi panitia B plus pada 2000,” tambahnya.

(AMAL/JG)

Baca Juga

Rekomendasi