Para narasumber dalam pertemuan jaringan reformasi sektor keamanan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily (Jakarta) - Iklim dan gelombang reformasi Indonesia dalam dua dekade pasca reformasi masih belum efektif memengaruhi security sector reform (SSR) atau reformasi sektor keamanan (RSK) di Indonesia.
RSK belum mampu bergulir baik akibat dari politik oligarki yang cenderung masif dan semakin mapan. Akibatnya, peran pengawasan masyarakat sipil dan parlemen mengalami kuldesak atau kebuntuan yang sangat parah.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Studi HAM (Psuham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, dalam Workshop Reformasi Sektor Keamanan yang diadakan Imparsial di Oria Hotel, Jakarta.
Menurutnya reformasi birokrasi yang digulirkan sejak 2010 rusak parah karena tidak bersumbu pada partisipasi aktif publik. Justru
grand design reformasi birokrasi 2010-2025 yang digaungkan melalui mandat Perpres No. 81 Tahun 2010 kelihatan berhenti di atas portofolio dan tidak produktif dalam mendorong dan mengimplementasikan tata kelola birokrasi yang demokratis.
"Khusus Reformasi Birokrasi Polri (RBP) juga mengalami stagnasi dalam produktivitas kinerja yang respek pada HAM dan tertib hukum. Tiga gelombang RBP yang telah berjalan dan mengarah pada struktur, instrumen dan kultur Polri masih belum mampu mewujudkan ekspektasi pemolisian demokratis (
democratic policing)," ungkap Majda dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (14/12).
Lebih jauh Majda menyebut, energi Polri masih berkutat pada restrukturisasi dan ekstensifikasi organisasi serta pola hubungan kerja lembaga secara internal. Potret ledakan jumlah pamen (perwira menengah) dan pati (perwira tinggi) menjadi masalah krusial yang kini dihadapi Polri di tengah kesejahteraan mereka yang belum baik dan maksimal.
"Problematika ini harus segera disudahi sehingga energi Polri bisa lebih produktif pada kualitas performa yang adaptif dan responsif terhadap kualitas penguatan akuntabilitas, efektivitas, respek pada HAM dan tertib hukum," imbaunya.
Agenda RSK pada RBP sejatinya menjadi cermatan serius, tidak saja oleh segenap unsur pimpinan Polri sendiri, tetapi juga pimpinan tertinggi otoritas pemerintahan sipil, parlemen dan masyarakat sipil. Kesuksesan RBP yang kini memasuki gelombang keempat sejatinya mampu lebih produktif melahirkan kompetensi Polri di tengah tuntutan perubahan masyarakat dan pembaruan organisasi Polri yang modern dengan dukungan perencanaan anggaran yang baik.
"Sudah saatnya RBP bergerak ke arah itu karena publik sangat menantikan performa Polri yang demokratis dengan pemanfaatan kekuatan pengawasan multi-stakeholder," tukas Majda.
(EAL)