Analisadaily - Hampir tiga perempat orang Amerika Serikat tidak peduli dengan afiliasi keagamaan rumah sakit atau jaringan layanan kesehatan. Namun mereka hanya mengharapkan preferensi layanan kesehatan agar diprioritaskan daripada doktrin agama.
Survei itu dilakukan pada saat jumlah sistem perawatan kesehatan yang dimiliki Katolik sedang meningkat.
Dan, mungkin tidak diketahui banyak pasien, dokter di fasilitas itu diharapkan mengikuti Konferensi Uskup Katolik ‘Arahan Etika dan Religius untuk Layanan Perawatan Kesehatan Katolik’, yang membatasi metode perawatan reproduksi dan akhir kehidupan.
"Kami melihat komposisi pergeseran sistem perawatan kesehatan AS," kata penulis utama studi, Dr. Maryam Guiahi, seorang profesor di departemen kebidanan dan ginekologi dan pusat bioetika di Fakultas Kedokteran Universitas Colorado, di Aurora.
Dilansir dari Reuters, Minggu (29/12) ia mengatakan, jumlah fasilitas kesehatan yang dimiliki atau berafiliasi dengan Katolik tumbuh 22 persen antara tahun 2001 dan 2016.
Dan ini kontras dengan jumlah keseluruhan rumah sakit perawatan akut, yang menurun sebesar 6 persen dan jumlah rumah sakit agama nirlaba lainnya menurun sebesar 38 persen.
“Artinya ini adalah semakin banyak pasien AS akan mencari perawatan di fasilitas kesehatan yang mungkin mengikuti aturan agama daripada pedoman berbasis bukti untuk perawatan,” ujar Guiahi.
Masih kata dia, banyak pasien mungkin tidak menyadari, afiliasi keagamaan dari sistem perawatan kesehatan mungkin berdampak pada perawatan yang mereka dapatkan.
Memperhatikan meningkatnya jumlah fasilitas milik Katolik, Guiahi dan rekan-rekannya memutuskan untuk mencari tahu apa preferensi orang Amerika ketika datang untuk memilih sistem perawatan kesehatan.
Para peneliti membuat survei nasional yang diberikan kepada 1.446 orang dewasa AS oleh NORC (sebelumnya National Opinion Research Center) pada November 2017.
Menurut laporan mereka di JAMA Network Open, survei berfokus pada pandangan pasien tentang perawatan kelembagaan keagamaan. Peserta ditanya tentang faktor terpenting dalam memilih fasilitas kesehatan.
Di antara tanggapan yang paling umum, asuransi kesehatan pasien diterima (72.5 persen), reputasi dokter (60.2 persen), dan reputasi fasilitas (59.5 persen). Hanya 6.4 persen mengatakan mereka menganggap afiliasi keagamaan dari institusi kesehatan.
Ketika ditanya secara spesifik apakah mereka lebih suka lembaga agama, 71.3 persen peserta mengatakan tidak peduli, 13.4 persen lebih suka satu dengan afiliasi agama, dan 15.3 persen lebih suka satu tanpa afiliasi.
Sebagian besar peserta (71.4 persen) setuju dengan pernyataan, pilihan pribadi mereka tentang kesehatan mereka harus diprioritaskan daripada afiliasi keagamaan fasilitas kesehatan dan ini lebih umum untuk wanita daripada pria (74.9 persen berbanding 68.1 persen).
"Ini adalah survei yang menarik," kata Dr. Albert Wu, ahli penyakit dalam dan profesor kebijakan dan manajemen kesehatan di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg di Baltimore, Maryland.
"Di satu sisi, cukup jelas dari survei ini, orang Amerika tidak mempertimbangkan afiliasi keagamaan sebuah institusi ketika mereka membutuhkan perawatan kesehatan, terutama ketika mereka sakit. Mereka menganggap mereka akan mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan terlepas dari afiliasi,” sambungnya.
Sayangnya, kata Wu, kebanyakan orang tidak mengerti fakta, mereka harus mempertimbangkan afiliasi keagamaan lembaga itu karena ada kemungkinan jenis perawatan tertentu mungkin ditolak. Dalam skenario terburuk, praktik beberapa organisasi menipu.
“Sangat penting kita memiliki undang-undang yang menyeimbangkan perlindungan bagi lembaga keagamaan dengan perlindungan pasien. Kita hidup dalam masyarakat majemuk dan bukan teokrasi. Prinsip prinsip profesi medis adalah perlindungan bagi pasien harus lebih besar daripada perlindungan bagi institusi keagamaan,” tambahnya.