DPRD Sumut Diminta Mengesahkan Ranperda Perlindungan Masyarakat Adat

DPRD Sumut Diminta Mengesahkan Ranperda Perlindungan Masyarakat Adat
Koalisi Ranperda Masyarakat Adat saat RDP di Gedung DPRD Sumut (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Persoalan tenurial dan konflik agraria masih disoroti Koalisi Ranperda Masyarakat Adat di Sumatera Utara (Sumut). Berbagai konflik tenurial dan agraria kerap kali melibatkan Masyarakat Adat di Sumut.

Hal ini terus terjadi dan belum adanya pengakuan subjek masyarakat adat dan objek (wilayah adat). Oleh karena itu Koalisi mengapresiasi langkah DPRD Sumut yang memasukkan kembali sejak 2017 Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat ke dalam Propemperda (Program Pembentukan Peraturan Daerah) tahun 2020.

"Diharapkan DPRD Sumut segera mensahkan Ranperda tersebut pada periode pembahasan tahun 2020 ini," kata perwakilan Koalisi Percepatan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumut, Ansyurdin, Senin (10/2).

Menurut Ansyurdin, urgennya pengakuan terhadap masyarakat adat dan wilayah adatnya di Sumut melalui Perda di tingkat provinsi adalah sebagai payung hukum terhadap pengakuan, perlindungan, dan penyelesaian konflik-konflik tenurial, dan konflik agraria yang terus dialami masyarakat adat.

"Mengingat, konflik yang bersifat struktural tersebut sangat rentan dialami masyarakat adat. Hutan Rakyat Institute atau HaRI mencatat, ada 48 komunitas masyarakat adat sampai saat ini masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri di Sumut," ucapnya.

Ansyurdin mengungkapkan, di sekitaran Danau Toba, terdapat 23 komunitas masyarakat adat masih berkonflik dengan perusahaan hutan tanaman industri PT. Toba Pulp Lestari. HaRI mencatat konflik tersebut berada di wilayah-wilayah adat yang luasnya mencapai 35.616, 43 Ha.

"Sedangkan 4 komunitas adat lainnya yang berada di sekitaran Danau Toba berkonflik dengan kehutanan dan perkebunan," ungkapnya.

Di Pesisir Timur Sumut, masyarakat adat rakyat penunggu menjadi korban perampasan lahan oleh PTPN II. Dari sekitar 76 kampong masyarakat adat rakyat penunggu, 20 sudah menduduki wilayah adatnya, walau hanya sebagian kecil saja yang sudah mereka kelola.

"Mereka masih kerap dianggap penggarap oleh pihak PTPN II. Keberadaan masyarakat adat rakyat penunggu masih dipinggirkan oleh negara," terang Ansyurdin.

Oleh karenanya, Koalisi Ranperda Masyarakat Adat di Sumut (HaRI, WALHI Sumut, KSPPM, BPRPI, BAKUMSU, AMAN Sumut, dan AMAN Tano Batak) mendesak agar DPRD Sumut segera mensahkan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Sumut.

Ranperda Masyarakat Adat di tingkat provinsi ini nantinya tidak hanya sebagai Perda payung bagi pengaturan hukum terkait hak-hak masyarakat adat, melalui tata cara pengaturan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Sumut.

"Namun melalui Perda ini, nantinya bisa disahkan 6 komunitas yang bisa diverifikasi dan divalidasi keberadaannya oleh DPRD Sumut maupun Pemerintah Provinsi Sumut," ujar Ansyurdin.

Secara umum pengesahan Ranperda ini akan memberikan perlindungan hak kepada masyarakat sebagai berikut:

  • Memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat serta hak Masyarakat Adat di Provinsi Sumatera Utara;
  • Melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat Adat di Provinsi Sumatera Utara terhadap tanah, air dan sumber daya alam lainnya;
  • Meningkatkan peran serta Masyarakat Adat dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan Masyarakat Adat;
  • Mewujudkan pengelolaan wilayah adat secara lestari berdasarkan hukum adat;
  • Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat di Provinsi Sumatera Utara;
  • Mewujudkan kebijakan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara yang mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat;
  • Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis pada pengakuan dan penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan hukum adat dan kearifan tradisionalnya.
(JW/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi