Sofyan Tan Kenang Masa Kecil: Atap Bocor dan Layang-Layang

Sofyan Tan Kenang Masa Kecil: Atap Bocor dan Layang-Layang
Sofyan Tan. (Analisadaily/Istimewa)

MENGEJAR layang-layang adalah kegembiraan bagi Anggota DPR RI dua periode, 2014-2019 dan 2019-2024 ini. “Pernah layang-layang itu masuk lewat atap yang bocor dan jatuh ke lantai rumah kami, rasanya gembira sekali mendapatkan layang-layang putus, ha ha ha,” ucap dr. Sofyan Tan yang terlahir di keluarga sangat miskin. Seraya sesekali terbahak dia terkenang masa kecilnya, dan bertutur saat berada di Jakarta via handphone kepada Harian Analisa, Jumat lalu.

Bersama ayah-ibu dan sembilan saudaranya, pria kelahiran Medan, 25 September 1959 ini bermukim di Sunggal Medan. Rumah mereka berdinding tepas, berlantai tanah, dan atap terbuat dari daun nipah. “Kalau hujan turun, kami sibuk membawa ember untuk menampung air yang merembes lewat atap yang bocor itu,” kenang anak kedelapan dari 10 bersaudara ini tertawa berderai.

Namun kenangan yang tak bisa dilupakan oleh suami dari Elinar ini adalah sosok ayahnya, Hisar (Tan A Guan). Sejak kecil, Hisar kerap bercerita tentang tokoh-tokoh republik. Teristimewa sosok Presiden I Indonesia, Soekarno. Bagaimana Soekarno berpidato tanpa teks dan memiliki jiwa yang merakyat.

“Beliau (ayah) bilang, saat masa perjuangan itu, di Desa Sunggal, tempat kelahiran saya, hanya ada empat keluarga Tionghoa pertama yang menyatakan menjadi warga negara Indonesia. Keluarga kami satu di antaranya. Waktu itu ditandai dengan diberikannya surat keterangan kewarganegaraan Indonesia,” kata ayah empat anak ini.

Mengapa ayahnya memilih menjadi warga negara Indonesia? Karena mereka lahir dan mati di Indonesia. Jadi harus memiliki surat yang sah dan tidak mendua (kewarganegaraan). “Itulah mengapa kode yang tertera di SKBRI itu adalah A1, karena menjadi orang Tionghoa pertama di Medan berkewarganegaraan Indonesia,” kisah Sofyan terkikik.

Masa kecil Sofyan juga pernah mengalami peristiwa yang menakutkan ketika pengganyangan G30/SPKI. Banyak rumah dan sekolah dibakar, orang-orang berteriak mengerikan. Api berkobar di mana-mana. Sofyan masih berusia tujuh tahun kala itu. Mereka sekeluarga mengunci diri di dalam rumah.

“Saya sudah bersiap untuk lari. Namun rumah kami dijaga oleh warga setempat. Saya dengar, ketika arak-arakan massa sampai di depan rumah, warga yang berjaga di depan rumah kami berteriak, “Ini orang kita, ini orang kita,” kenang Sofyan. Rumah mereka tidak jadi dibakar.

Sebutan ‘ini orang kita’ itu bagi Sofyan kecil adalah sebuah mukjizat. Warga yang menjaga rumah mereka itu adalah teman-teman ayahnya. “Ayah saya bekerja sebagai penjahit, pelanggannya adalah warga di kampung yang didominasi oleh orang bersuku Melayu dan suku Karo,” ungkapnya.
Akibat peristiwa yang menakutkan itu, Sofyan bahkan putus sekolah. Sebab sekolah-sekolah di Sunggal hangus terbakar. Beberapa waktu ia dan saudara-saudaranya mengenyam pendidikan di rumah. Sang ayah memanggil guru khusus untuk mengajari anak-anaknya.

Ketika mereka ingin les bahasa Inggris, ayah justru menolak. Mereka harus belajar bahasa Indonesia. “Ayah telah menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dalam diri saya,” akunya.

Sejak kecil Sofyan tak pernah bercita-cita terjun ke dunia politik. Impiannya sejak kecil hanya ingin menjadi dokter. Dia ingin menjadi dokter anak, bekerja di desa terpencil, menolong orang-orang miskin. “Apa yang terjadi seperti saya sekarang ini sebetulnya bertolak belakang dari apa yang saya cita-citakan. Ayah saya meninggal karena dokter yang dipanggil tidak datang, itu yang mendorong saya menjadi dokter,” ujarnya.

Perjuangannya menjadi dokter itu pun sangat berat. Apalagi sepeninggalan ayahnya, hehidupan mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Usaha mereka bangkrut, Sofyan harus menanggung dua adik di bawahnya sembari kuliah dan bekerja. “Aduh saya mengalami situasi yang luar biasa waktu itu,” ucapnya.

Masa-masa itu, sehari-hari dia hanya tidur empat jam. Dia kuliah, bekerja, mengajar les sampai pukul 21.00 WIB. Setelah itu dia belajar hingga pukul 02.00 dini hari. Begitu pagi datang, pukul 06.00 WIB dia harus bangun dan rutinitas itu berulang kembali. “Saya hanya bisa istirahat hari minggu,” katanya terpingkal mengenang masa itu.

Namun abang dan kakaknya sangat mendukungnya. Buku-buku kedokteran yang wajib dia miliki justru dibelikan kakak dan abang-abangnya. “Mereka menulis nama mereka di setiap buku yang mereka sumbang untuk saya. Sungguh kenangan yang indah,” kenangnya.

Kini meskipun tak menjadi dokter persis impiannya, namun Sofyan adalah “dokter pendidikan.” Dia duduk sebagai anggota DPR RI Komisi X Bidang Pendidikan.

Kepada generasi muda Sofyan berpesan agar jangan suka mengganti pekerjaan, mengganti cita-cita. Juga harus bisa membangun toleransi antara sesamanya. “Itu sangat penting, karena percuma orang yang bekerja keras dan kemudian berhasil, jika tidak memiliki rasa toleransi yang tinggi. Kalau semua pemuda bersemangat seperti itu, maka Indonesia pasti jaya,” pungkasnya.

Berita kiriman dari: Adelina Savitri Lubis

Baca Juga

Rekomendasi