PWI dan AJI Desak Polisi Usut Intimidasi Terhadap Wartawan Detik.com

PWI dan AJI Desak Polisi Usut Intimidasi Terhadap Wartawan Detik.com
Ilustrasi (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Kekerasan terhadap wartawan masih saja terus terjadi di tanah air. Sebagaimana dialami wartawan media Detik.com usai menulis berita terkait kegiatan Presiden Joko Widodo, mengunjungi mal di Bekasi pada Selasa 26 Mei 2020 lalu terkait penanganan pandemi Covid-19.

Wartawan yang menulis kegiatan Jokowi itu mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.

Ketua Bidang Advokasi/Pembelaan Wartawan PWI Pusat, Ocktap Riady, mengecam keras aksi intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap wartawan Detik.com tersebut. PWI meminta polisi segera mengusut pelaku teror tersebut.

Menurut Ocktap, intimidasi terhadap wartawan itu bermula dari tulisan wartawan tentang rencana pembukaan mal di bekasi oleh Presiden Jokowi. Rupanya ada desakan untuk meralat judul dan tulisan itu yang akhirnya berubah menjadi kunjungan Presiden untuk memastikan kesiapan mal di Bekasi menghadapi tahapan New Normal dalam penanganan Covid-19.

Ternyata kejadian ini menimbulkan intimidasi yang dimulai dari penyebaran informasi tentang wartawan tersebut dan kecaman yang dialamatkan kepadanya. Terakhir ancaman pembunuhan diterima melalui WhatsApp (WA).

Tambahnya lagi, tindakan intimidasi dan ancaman pembunuhan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang itu melanggar pasal 4 ayat 1-3.

"Peranan pers itu untuk melakukan pengawasan, koreksi dan saran. Jika ada upaya menghambat peran itu bisa dipidana paling lama dua tahun dan denda Rp 500 juta," tegasnya, Jumat (29/5).

Mantan Ketua PWI Sumatera Selatan ini juga dengan tegas meminta polisi mengusut tuntas intimidasi yang dilakukan, baik melalui media sosial atau melalui WA pribadi wartawan yang bersangkutan.

"Jika ada kesalahan terhadap pemberitaan, ada hak koreksi dan hak jawab, bukan dengan cara mengintimidasi wartawan atau media yang menulis berita. Apalagi mengancam akan membunuh wartawannya. Ini tindakan bar-bar yang tidak bisa dibenarkan secara hukum," katanya.

PWI juga meminta Dewan Pers ikut berperan aktif mendesak polisi mengusut kasus ini dan menangkap pelaku pengancaman. PWI juga meminta agar masyarakat ikut mengembangkan kemerdekaan pers dengan cara menggunakan saluran UU Pers jika merasa pemberitaan sebuah media terjadi kekeliruan.

"Ada mekanisme, yakni melalui hak jawab atau hak koreksi, jangan gunakan kekerasan," ujarnya.

Rencana Buka Mal

Kasus ini bermula ketika wartawan Detik.com menulis berita tentang rencana Jokowi akan membuka mal di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.

Namun pernyataan Kasubbag itu kemudian diluruskan oleh Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB. Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detik.com.

Kekerasan terhadap penulis berita tersebut dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita menyebar di internet, dari Facebook hingga YouTube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya, meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, Situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.

Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers.

Selain doxing, wartawan itu juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal kenyataannya tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan wartawan tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui WA.

AJI Juga Kecam

Tidak hanya PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta juga mengecam tindakan teror terhadap wartawan itu. AJI menilai di tengah upaya Jokowi menggencarkan persiapan new normal, pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah tampaknya menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Pasal 4 ayat 1-3 menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Kasus kekerasan dalam bentuk doxing terhadap jurnalis bukan baru kali ini terjadi di Jakarta. Sebelumnya ada empat kasus jurnalis yang mengalami doxing terkait pemberitaan.

Hingga saat ini belum ada satupun kasus yang diusut tuntas oleh aparat penegak hukum hingga para pelakunya diadili sesuai aturan yang berlaku. Padahal dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UU Pers.

Atas kasus di atas, AJI Jakarta juga mendesak aparat kepolisian segera mengusut dugaan pelanggaran pidana doxing, kekerasan, maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan. Mendesak Dewan Pers untuk terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis.

(HERS/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi