Seniman dari Masyarakat Seni Rakyat Indonesia dengan alat pelindung diri di wajahnya membawakan tarian Ngarekes Kidung Panjurung Saripanggung saat menggelar aksi damai di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (20/7). (ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj)
Analisadaily.com, Jakarta - Situasi pandemi virus Corona telah membawa banyak perubahan kepada masyarakat dunia. Salah satunya semakin peduli terhadap Kesehatan, kebersihan diri dan lingkungan.
Seperti menggunakan masker jika keluar rumah, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan orang lain kini sudah sangat melekat di setiap aktivitas kehidupan. Hal itu seakan menjadi norma atau budaya baru masyarakat Indonesia.
Sosiolog Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto mengatakan, kebiasaan baru yang muncul saat situasi pandemi ini harus didasarkan atas kesadaran masyarakat sendiri dan tidak bisa diterapkan secara paksa.
“Pemerintah mengharapkan kebiasaan baru itu kan bukan dilakukan karena terpaksa. Tapi dilakukan karena kesadaran, rasa tanggung jawab masyarakat itu sendiri,” kata Prof. Bagong saat dialog di Media Center Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Jumat (24/7).
Lebih lanjut ia menjelaskan, pemerintah telah melakukan upaya untuk membantu masyarakat dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru, melalui aturan-aturan hukum yang telah berlaku dan yang terpenting adalah dengan cara persuasi.
“Jadi yang kita pahami, mereka juga korban, tidak mungkin kita meminta mereka mengembangkan budaya baru, cara hidup baru, perilaku yang baru, hanya dengan ancaman sanksi,” ujarnya.
Akhir-akhir ini, pemerintah turut melakukan kolaborasi dengan para selebriti mulai dari micro celebrity dan celebrity influencer diminta untuk membantu melakukan edukasi kepada masyarakat tentang adaptasi kebiasaan baru.
Selain itu, pendekatan yang dilakukan untuk mengedukasi kepada masyarakat juga harus disesuaikan dengan latar belakang mereka masing-masing agar tersampaikan lebih efektif.
“Subjek itu tidak mungkin bisa merata, kan. Jadi, harus dipahami. Subjek itu partikularistik. Jadi, dia punya masing-masing komunitas, punya subkultur yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, idiom-idiom percakapan yang berbeda, ya,” sambungnya.
Pada kesempatan yang sama budayawan Teater Koma, Sari Madjid mengungkapkan, sekarang dunia pertunjukkan seni juga sudah mulai menerapkan kebiasan baru tersebut di dalam kegiatannya.
“Memang ada beberapa versi. Maksudnya gini, kayak misalnya di tari, mereka juga sudah membuat kostum dengan ada face shield tapi, itu menjadi bagian dari kostum. Ada juga yang masker menjadi bagian dari kostum,” kata Sari.
Sari mengatakan, pembuatan aturan-aturan tentang penggunaan properti saat pertunjukkan di masa pandemi juga sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Aturan tersebut di antaranya adalah tentang penggunaan alat rias dan kostum bagi para aktor.
Sebetulnya begini, lanjutnya menerangkan, kemarin juga diminta untuk bersama-sama, kaya Kemenparekraf bikin aturan. Karena kan, kata dia, prosedurnya banyak nih, kalau mau buat pertunjukan.
“Belum make-up, alat make-up-nya harus sendiri-sendiri, gitu kan. Terus kostum, kostum juga tidak boleh gantian. Jadi, kalau kostum ya memang masing-masing,” terangnya.
Meski masih dalam tahap adaptasi, para seniman kini sudah berusaha untuk membuat kebiasaan baru tersebut menjadi lifestyle mereka sehingga bisa tetap produktif berkarya di masa pandemi Corona.
Prof. Bagong dan Sari, pun sepakat untuk merubah kebiasaan baru ini menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Maka diperlukan pendekatan berbasis lifestyle. Pemberian reward dan punishment juga akan efektif untuk membudayakan kebiasaan baru pada masyarakat.
(CSP)