Dokumentasi massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat berdemonstrasi di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7). Mereka mendesak RUU PKS segera disahkan. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
Analisadaily.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong Dewan Perwakilan Rakyat menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai prioritas yang harus dibahas pada Program Legislasi Nasional pada 2021.
”Posisi LPSK adalah mendorong agar RUU ini masuk prioritas pembahasan DPR pada tahun 2021,” kata Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar dilansir dari
Antara, Selasa (6/10).
Ia mengatakan jumlah kasus kekerasan seksual dengan aneka modus yang terungkap ke publik akhir-akhir ini menjadi salah satu alasan urgensi pembahasan dan pengesahan RUU PKS.
LPSK mencatat, pada akhir September 2020 terdapat 223 saksi dan atau korban yang mengajukan permohonan perlindungan dalam perkara-perkara yang berdimensi kekerasan seksual.
Pada 2018, kata dia, LPSK telah memberikan perlindungan kepada saksi atau korban kekerasan seksual sebanyak 401 orang dan pada 2019 berjumlah 507 orang.
Ia melanjutkan, LPSK banyak menerima permohonan perlindungan dari korban kekerasan seksual, tetapi dalam proses hukum yang berjalan seringkali kasus-kasus yang terjadi kepada korban dianggap tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana.
Oleh karena itu, dia menilai diperlukan UU yang mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin berkembang jenis maupun modusnya.
”Dalam banyak kasus, dengan tidak dapat dilanjutkannya proses hukum, korban seringkali mendapat serangan balasan dari pelaku, contohnya melakukan laporan balik. Situasi ini perlu mendapat perhatian semua pihak dalam kaitannya dengan perlindungan kepada korban kekerasan seksual,” ucap dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari hasil kajian LPSK terdapat beberapa aspek penting yang harus menjadi muatan dalam pembahasan RUU PKS.
Pertama, soal pemenuhan hak saksi dan atau korban untuk perlindungan, bantuan rehabilitasi medis, psikologis maupun psikososial, dan fasilitasi restitusi.
Kedua, dampak sosial yang diakibatkan tindak pidana pada kasus-kasus kekerasan seksual, seperti pada kasus kekerasan seksual di Bengkulu di mana keluarga korban justru dikucilkan oleh masyarakat dan diusir dari tempat tinggalnya.
"Oleh karena itu, diperlukan kerangka sosio-ekologis untuk pemulihan yang komprehensif, di mana masyarakat dapat lebih menunjukkan empati dan kepedulian dan tidak menyalahkan korban sebagai pemicu kekerasan seksual," kata dia.
Ketiga, pembahasan mengenai pengaturan restitusi atau ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku bagi korban agar dapat dipastikan mengikat kepada pelaku dan dapat dieksekusi.
Terakhir, keberadaaan
victim impact statement (pernyataan dampak atas kejahatan yang dialami oleh korban) dalam hukum acara persidangan kasus kekerasan seksual agar diadopsi di RUU PKS.
"Di mana korban dapat memberikan pernyataan akan dampak yang dialaminya yang merupakan bentuk partisipasi korban dalam proses peradilan pidana, baik berupa tulisan maupun lisan yang ditujukan kepada majelis hakim," ujar dia.
(CSP)