Buntut Unjuk Rasa Minta Kuliah Daring

Mahasiswa Diskorsing, Ketua STIHMA Kisaran Dilaporkan ke Polisi

Mahasiswa Diskorsing, Ketua STIHMA Kisaran Dilaporkan ke Polisi
Ketua STIHMA Kisaran Ratmi Susiani Sagala, didampingi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Asahan Mohd Akhiar, Sekertaris BPH Idham Sadri, Waket Bidang Kemahasiswaan Muniarti E Sulastri, Ketua LPPM Syahfrizal dan Ketua LPM Dedi Irawan, saat menggelar konferens (Analisadaily/Arifin)

Analisadaily.com, Kisaran - Buntut dari aksi unjuk rasa mahasiswa yang meminta belajar daring hingga berujung jatuhnya skorsing dan pelaporan ke Polres Asahan terkait dugaan penyelewengan dana bidik misi, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah (STIHMA) Kisaran menilai tindakannya sudah sesuai aturan yang berlaku.

Ketua STIHMA Kisaran, Ratmi Susiani Sagala, didampingi Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Asahan Mohd Akhiar, Sekretaris BPH Idham Sadri, Waket Bidang Kemahasiswaan Muniarti E. Sulastri, Ketua LPPM Syahfrizal dan Ketua LPM Dedi Irawan, saat konferensi pers menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan tindakan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku.

Menurutnya kebijakan tatap muka saat awal pandemi Covid-19 bulan Maret lalu dilakukan karena belum ada keputusan dari Badan Amal Muhammadiyah Pusat terkait sistem belajar. Kemudian situasi di Kabupaten Asahan saat itu juga belum separah ini.

"Pada saat itu kita masih melakukan ujian mid semester. Saya bilang tunggu dulu edaran dari majelis karena kita menunggu itu. Namun dua hari menjelang akhir mid semester surat edaran itu turun," jelas Ratmi.

Ratmi mengatakan surat edaran itu juga harus dikaji untuk melihat situasi dan kondisi di lapangan, termasuk ketersediaan smartphone dan jaringan internet, mengingat banyak mahasiswa yang tinggal di wilayah pedalaman.

Kemudian dalam surat itu membolehkan sistem pembelajaran tatap muka sepanjang dibutuhkan.

"STIHMA Kisaran akhirnya mengambil sikap sehingga kita sosialisasikan, dan meminta waktu sekitar dua sampai tiga minggu. Ada beberapa mahasiswa mendatangi dosen terkait sistem pembelajaran ini dan sudah dijelaskan agar proses pembelajaran yang baru bisa nyaman menjalaninya. Selain itu kita sudah membagikan surat edaran kepada mahasiswa," sebutnya.

"Saat itu tidak ada masalah, namun besoknya terpasang spanduk bertuliskan 'BNPB tolong kami, kami tidak mau terpapar Covid-19'. Saya sempat bertanya dengan mahasiswa, ini ada apa, padahal dokumen kita sudah lengkap," jelas Ratmi.

Lebih lanjut Ratmi mengungkapkan, mahasiswa akhirnya melakukan aksi unjuk rasa pada 30 Maret 2020. Padahal STIHMA sudah mengambil sikap perpindahan sistem pembelajaran dari tatap muka ke daring dan meminta waktu untuk sosialisasi.

Masalah ini terus bergulir sehingga dirinya dilaporkan oleh organisasi mahasiswa ke Polres Asahan terkait dugaan penyelewengan dana bidik misi. Selain itu pihaknya juga mendapat surat dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) atas laporan yang sama.

"Dari situ dia sudah salah, saya menjabat sejak 2013, kami dapat pertama bidik misi sejak 2017 dan hingga 2020 hanya 21 orang. Kita sudah membuat klarifikasinya ke LLDikti dengan memberikan semua dokumen. Alhamdulillah di LLDikti saya sudah selesai. Sebelumnya kami dipanggil UMSU sebagai Rektor Pembina dan menjelaskan hal yang sama. Skorsing mahasiswa itu sudah benar karena pelanggaran kode etik kemahasiswaan. Karena mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh melakukan demo," tegas Ratmi.

Di Polres Asahan, lanjut Ratmi, dirinya sudah diperiksa. Namun prosesnya cukup panjang dan belum selesai.

Dia juga sudah menjelaskan bahwa perguruan tinggi boleh mengolah anggaran, baik itu dari swasta maupun dari pemerintah. Sementara dalam bidik misi ini ada panduan tersendiri yang lahir dari Permenristek yang membawahinya. Dalam UU No 12/2012 Pasal 61 sampai 67 terdapat aturan mengenai hak otonom perguruan tinggi swasta mengelola bidik misi.

"Saya sudah sampaikan ke penyidik dan saya boleh mengaudit uang anak-anak (penerima bidik misi) karena apa, bidik misi itu tetap boleh dikawal, tujuan agar mahasiswa tamat tepat pada waktunya," ungkap Ratmi.

Lebih lanjut Ratmi menjelaskan dalam laporannya dianggap bahwa dana dari mahasiswa yang disebut biaya pribadi atau biaya hidup itu tidak boleh digunakan untuk hal lain-lain. Jadi hal yang dipermasalahkan adalah dana yang dikutip perguruan tinggi untuk kepentingan pribadi. Menurutnya itu adalah biaya pendidikan di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT).

"UKT itu memang sudah dibayarkan negara ke kita sebagai perguruan tinggi, uang biaya hidup masuk ke rekening mereka mahasiswa penerima bidik misi, tapi ada biaya pendidikan lain yang harus mereka bayar dari uang yang mereka terima itu, itulah yang kita kelola, berdasarkan kontrak dengan mereka. Tapi ada yang tidak senang, tapi kenapa ke kantor polisi. Sejatinya tidak senang kontrak bisa kita batalkan sehingga kita punya dasar hukum yaitu UU No 12/2012, Permenristek No:6 /2019, UU No:14/2014," jelas Ratmi.

Proporsional dan Profesional

Ketua PD Muhammadiyah Asahan, Mohd Akhiar, menanggapi bahwa organisasi mahasiswa yang melakukan demo serta pelaporan ke polisi dan LLDikti, merupakan bagian dari organisasi Muhammadiyah yaitu PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Asahan dan Batubara.

Menurutnya masalah ini sudah dikonsultasikan dengan PD IMM Sumut dan hal itu sesuai dengan prosedur organisasi.

"Sampai saat ini belum ada putusan dari PD IMM Sumut, tapi ada penyesalan mereka secara lisan saja," jelas Akhiar

Akhiar berharap kepada Polres Asahan dalam menangani kasus ini agar menyelesaikannya secara proporsional dan profesional.

"Kita dari PD Muhammadiyah kecewa juga karena kasus pelaporan ini sudah sampai tujuh bulan belum selesai," jelas Akhiar.

Sementara di lain tempat, Ketua PC IMM Asahan dan Batubara, Zahir Ghufron Siregar, saat dikonfirmasi Analisadaily.com menuturkan, dirinya menyampaikan aspirasi ke muka umum karena ada anggotanya yang teraniaya.

"Kami hanya meminta pembelajaran daring saat pendemi Covid-19, kemudian pencabutan skorsing sembilan mahasiswa yang demo, dan pengembalian beasiswa empat mahasiswa STIHMA," ujarnya, Selasa (3/11).

"Permintaan daring sesuai dengan peraturan pemerintah dan Maklumat Kapolri untuk tidak mengadakan kerumunan. Sedangkan skorsing karena alasan demo itu sudah salah. Surat Skorsing keluar pada 2 Maret 2020, aksi demo pada 30 Maret 2020. Pengutipan biaya kuliah juga salah karena sudah ditalangi oleh biaya bidik misi yang dibayar negara ke rekening STIHMA, tetapi kenapa dikutip lagi," jelas Ghufron.

Oleh sebab itu, sambung Ghufron, dirinya akan tetap maju dan mengawal masalah ini di LLDikti dan Polres Asahan.

"Saya akan tetap kawal masalah ini hingga proses hukum ini selesai," tegasnya.

Kasat Reskrim Polres Asahan, AKP Rahmadani, mengatakan laporan dugaan penyelewengan dana bidik misi oleh Ketua STIHMA Kisaran kini sudah ditingkatkan ke proses sidik.

Pihaknya masih melengkapi bukti-bukti dalam masalah ini sehingga saat penetapan tersangka tidak ada peluang terjadinya pra peradilan karena proses yang tidak sempurna.

"Kita sedang proses sidik serta dilakukan secara proporsional dan profesional," jelas Dani.

(ARI/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi