Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Publik menyoroti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah resmi berlaku sejak ditandatangani Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 2 November 2020, termasuk Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia.
Tim yang diketahui konsisten meminta keterbukaan sewaktu pembahasan Rancangan Undang-Undan (RUU) Cipta Kerja menyayangkan UU Cipta Kerja yang telah diundangkan, tetapi masih terdapat kurang pengetikan.
Perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Jarot Maryono mengatakan, pasal 6 menjadi salah satu yang ramai dikritisi
netizen. Dalam pasal tersebut, yang dibaca seperti merujuk ketentuan yang tidak tercantum.
Pasal 6 berbunyi: Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 dan seterusnya. Padahal ternyata dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 ayat 1 tidak tercantum hanya Pasal 5 tanpa ayat. Hal ini menjadikan ketidakpastian hukum bagi masyarakat Indonesia.
"Padahal, jika mencermati draft RUU Cipta Kerja yang berjumlah 905 halaman, di situ ada tercantum Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2," kata Jarot melalui keterangan tertulis, Rabu (4/11).
Perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia lainnya, Ika Batubara menyampaikan, UU Cipta Kerja memang fatal kesalahannya. Secara urutan terkait Pasal 5 sebelumnya tercantum dalam Bab II mengenai Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup meliputi: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, dan memang Pasal 5 tidak ada ayatnya. Kemudian dilanjutkan Bab III Bagian Kesatu dan Kedua melanjutkan Pasal dalam Bab II. Baru kemudian di Bagian Ketiga rujukannya ke UU Nomor 26/2007.
Perwakilan lainnya, Johan Imanuel mengatakan, selain kurang pengetikan, format penulisan dalam UU Cipta Kerja tidak mematuhi Lampiran II UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seharusnya, sebut Johan, perubahan UU itu ditulis format didahului angka Romawi baru dilanjutkan angka Arab. Sebagaimana contoh penulisan dalam lampiran angka 233.
"Sampai saat ini Lampiran II UU 12/2011 angka 233 belum direvisi, seharusnya penyusunan harus sesuai dengan yang masih berlaku," sebutnya.
Ditambahkan Ricka Kartika Barus, pihaknya sudah meminta informasi publik kepada Pembentuk UU (Pemerintah dan DPR RI) saat sebelum diundangkan. Tetapi sampai saat ini, surat yang meminta Draft RUU yang resmi tidak pernah ditanggapi dan banyak sekali prosedur permohonan dan verifikasi yang tidak dapat membantu masyarakat dalam memeroleh informasi publik kepada masyarakat.
"Sungguh disayangkan, untuk memperoleh informasi tersebut harus melewati banyaknya verifikasi yang menghalangi publik meminta kepastian hukum sehingga ya itu merupakan tanggung jawab Pembentuk UU bukan publik jika terjadi kesalahan disaat telah diundangkan. Karena dari awal tidak mau menjalankan asas keterbukaan dan tidak meminta partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya," tandas Ricka.
(RZD)