Karikatur Harian Analisa. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Sawit Indonesia kian menjadi primadona. Konsumsi minyak kelapa sawit dalam beberapa kurun waktu terakhir meningkat secara drastis. Bahkan, ekspor sawit terus menjadi andalan ekspor non-migas Indonesia.
Industri sawit juga turut membuka lapangan kerja dan membantu mengentaskan kemiskinan. Tercatat ada 4,2 juta tenaga kerja langsung yang terlibat dalam industri kelapa sawit. Dan 12 juta tenaga tidak langsung.
Petani sawit yang berbasis pada kebun rakyat juga jumlahnya naik secara signifikan dari tahun ke tahun. Sepanjang kurun waktu 2016-2018 tercatat ada 2,4 juta petani swadaya dengan melibatkan 4,6 juta pekerja.
Data itu menunjukkan bahwa sawit memiliki kontribusi maksimal dalam menciptakan lapangan kerja terutama di pedesaan. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Eddy Abdurrachman mengatakan realitas sekarang menunjukkan Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia.
Tapi ia menyayangkan bahwa sawit tak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Stigma negatif soal sawit yang diembuskan pihak luar menjadikan pengelolaan industri sawit dari hulu ke hilir tersendat.
Padahal, menurutnya, sawit adalah “harta karun” bagi penduduk Indonesia. Dengan pengelolaan industri kelapa sawit yang optimal, Indonesia diyakini akan menjadi bangsa yang mampu berdaya saing secara ekonomi di kancah global.
Dan hal itu bukanlah isapan jempol. Fakta dan data yang menunjukkan bahwa sawit mampu menjadi ketahanan ekonomi bangsa yang berkelanjutan telah terpampang jelas di lapangan.
BPDPKS yang hadir memiliki peran penting untuk menjadikan sawit sebagai lokomotif ekonomi bangsa. Langkah strategis yang selama ini dibangun harus didukung dan didorong oleh semua pihak termasuk rakyat Indonesia.
Adalah tugas pemerintah untuk memastikan kesejahteraan petani sawit lebih sejahtera. BPDP-KS juga harus mampu menstabilisasi harga CPO dan memperkuat industri hilir.
Menjadikan sawit sebagai lokomotif perekonomian Indonesia juga bukan hanya tugas dari BPDP-KS dan pelaku industri sawit semata.
Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun mengatakan jurnalis juga harus mampu mendorong dan menyadarkan publik akan pentingnya mendukung perkembangan sawit tanah air.
“Kita juga punya tugas itu. Bila bicara soal nasionalisme, maka stigma negatif tentang sawit yang disiarkan negara eropa seharusnya menggugah sentimen keiindonesiaan kita,” ujarnya.
Semua pihak harus bersatu, mendorong dan mendukung industri sawit, melawan stigma negatif dan memberikan kritik yang konstruktif. Tentu, sawit—sebagaimana pula industri lainnya memiliki kelemahan.
Kelemahan itulah yang perlu dirumuskan bersama agar menjadi kekuatan, agar “harta karun” kita bernama sawit memiliki industri hulu dan hilir yang kuat dalam menunjang ekonomi bangsa.
(BR)