Kemacetan di Jalan Kejaksaan di Kota Medan. (Analisadaily/Jafar Wijaya)
Analisadaily.com, Medan - Masalah kemacetan di Kota Medan, merupakan masalah klasik yang hingga kini tak kunjung selesai diatasi oleh pemerintah.
Akibatnya, ongkos atau biaya yang keluarkan masyarakat akibat kemacetan itu, baik secara ekonomi maupun psikologis cukup tinggi.
Ekonom Sumut, Dr. Fadli, SE, M.Si mengatakan bahwa, ada beberapa penyebab masih tingginya angka kemacetan di Medan, mulai dari karakter pengguna jalan yang belum disiplin berlalu lintas, oknum Pak Ogah yang setengah memaksa memberikan bantuan menyetop dan membelokkan kendaraan di persimpangan yang padat.
"Yang paling sering adalah, kondisi infrastruktur Kota Medan yang masih buruk. Jalanan masih belubang, dan lampu lalulintas yang kadang tak berfungsi atau membingungkan, serta penambahan volume kendaraan tanpa diikuti peningkatan kapasitas dan kualitas prasarana jalan," katanya, Senin (16/11).
Kondisi ini tentu membuat kerugian bagi masyarakat, baik secara psikologis maupun ekonomi. Dari sudut pangan psikologis, dia menyebut, biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Kadang, orang lain merespon pengguna jalan yang lain tidak disiplin lalulintas, menerobos lampu merah dan membahayakan orang lain, sering direspon secara intrerpersonal berupa berbagai bentuk kemarahan atau umpatan.
Hal ini tentu berdampak pada tingkat stres yang tinggi bagi pengguna jalan. Ketika seseorang mengalami stres, maka hormon kortisol atau sering disebut sebagai hormone stress dan hormon adrenalin akan meningkat yang dapat memicu berbagai penyakit atau istilah yang sering digunakan di masa pandemi Covid-19 ini, 'Mengurangi imunitas' dan menyebabkan rasa tidak bahagia.
"Ya, kemacetan ini secara langsung maupun tidak langsung, membuat orang Medan kurang bahagia," ujar Fadli.
Fadli menuturkan, dengan situasi lalu lintas yang masih seperti sekarang, setelah beberapa kali berganti kepala daerah, warga Kota Medan yang bahagia merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan baik oleh fasilitatornya yaitu pemerintah kota maupun oleh warganya sendiri, melalui transformasi karakternya masing-masing untuk dapat lebih disiplin dalam berlalu lintas.
Sementara dari segi ekonomis, dia mencontohkan hasil satu penelitian pada 2015 lalu. Dalam penelitian tersebut menyebut, total biaya kemacetan di beberapa ruas jalan adalah sebesar Rp85,36 juta per hari, atau sebesar Rp22,53 miliar per tahun.
Ini dihitung berdasarkan nilai waktu dan penggunaan BBM para pengguna jalan. Adapun VCR (volume capacity ratio) atau nilai indikator pelayanan jalan melebihi angka 0,7 atau setara dengan tingkat pelayanan C ke D yang diartikan arus jalan yang tidak stabil dengan kecepatan kendaraan rendah.
"Tingkat rasi itu diterjemahkan dengan istilah yang sederhana yakni macet," tuturnya.
Kemacetan Kota Medan ini terkonsentrasi di jalan-jalan menuju pusat kota seperti Dr Mansyur, Jamin Ginting, Juanda, Katamso dan Sisingamangaraja, kemudian juga di Jalan Asrama dan Kapten Muslim, yang masih dirasakan sampai sekarang ini.
Penyebabnya mulai dari penjual kartu paket internet dan PKL lainnya, kendaraan besar pengangkutan yang parkir on-street atau istilah umumnya 'ngetem' di pinggir jalan menunggu orderan, serta fenomena terakhir yaitu ojek online yang sering mangkal di titik-titik pusat kota.
"Hal ini mendorong suasana ketidaknyamanan dan stres berkepanjangan yang dialami warga kota Medan. Kunci sehat adalah bahagia, slogan umum yang telah mengakar pada kita, yang merupakan turunan lagi dari ungkapan semua penyakit berasal dari pikiran," jelas Fadli.
Oleh karenanya, solusi segera dan konsisten adalah hal yang dibutuhkan, bukan mencari siapa yang salah atas ketidaknyamanan yg dialami masyarakat kota Medan ini setelah ribuan purnama yang telah berlalu.
Penyelesaian masalah ini meliputi berbagai strategi dan dimensi yang akan berdampak langsung maupun berproses menuju masyarakat Kota Medan yang bahagia, yang mungkin belum pernah ditelaah oleh pemerintah Kota Medan melalui berbagai indikator kebahagiaan.
Medan dapat mencontoh Bandung maupun Surabaya yang warga kotanya bangga dengan kota dan pemerintah kotanya.
Adapun dalam upaya mengurai kemacetan di Medan, terutama soal pedagang yang berjualan di pinggir jalan, Pemko Medan diharapkan bisa memberi solusi melalui regulasi dan pengawasan yang melekat terhadap permasalahan ini, sehingga para pengguna jalan bisa nyaman, di sisi lain para pedagang tidak kehilangan pendapatan secara ekonomi.
"Selama ini pengawasan yang dilakukan hanya sekedar formalitas," terangnya.
Selain itu, masalah lain yang harus dituntaskan adalah masalah disiplin pengguna jalan dalam berlalu lintas. Dari kedua hal tersebut, sudah puluhan solusi yang diberikan oleh para ahli atau mencontoh yang dilakukan kota-kota dari negara yang lebih maju
Seperti dapat diselesaikan melalui opsi penetapan biaya parkir yang tinggi, penggunaan bus rapid transit, CCTV di setiap lampu merah kota yang akan dapat menjadi media menilang pengendara yang tidak patuh lalu lintas, relokaasi para pedagang kaki lima, penggunaan alat parkir otomatis merupakan merupakan program-program yang dapat dipilih oleh pemerintah kota Medan.
Namun, solusi tersebut belum cukup. Jalanan Kota Medan tetap saja macet. Karakter penduduk Kota Medan yang katanya keras, harus mencitrakan keras tetapi secara disiplin, sehingga sifat mengakali peraturan yang telah dibuat bisa dihilangkan.
Mengubah karakter negatif di atas membutuhkan suatu transformasi terutama di bidang pendidikan formal, yang sekarang sudah terfasilitasi dengan kebijakan Merdeka Belajar dari Kemendikbud.
Merdeka belajar yang dinarasikan juga sebagai Bahagia Belajar, yang diharapkan dapat mengikuti kualitas pendidikan yang progresif dan mampu memenuhi kebutuhan zaman akan SDM yang berkualitas
Seperti sistem pendidikan di Amerika, Finlandia, dan Jepang tentunya yang mengutamakan pendidikan moral, etika dan disiplin sebelum pendidikan formal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa moral, etika dan disiplin merupakan pembelajaran dasar yang nyata telah menciptakan karakter masyarakat negara-negara tadi yang berdisiplin tinggi meski tidak dipantau setiap saat oleh pemerintah secara langsung, tentunya sudah didukung oleh UU dan sistem yang lalu lintas yang baik dan terintegrasi, yang menjadikan lalu lintas yang teratur, aman dan nyaman serta bebas stress.
Di sinilah peran pemerintah kota diharapkan dapat menjadi agent of change bagi masyarakatnya melalui program pendidikan yang visioner dan bukan lagi berpangku tangan, mencontoh program-program dari daerah lain dan turunan dari Pemerintah Pusat.
Menurut dia, selama ini Pemko Medan masih jauh dari upaya untuk mengurai masalah-masalah tersebut di atas. Langkah-langkah yang ditempuh pun terkesan rutinitas yang tak membawa dampak signifikan.
Sudah saatnya Kota Medan memiliki pemimpin yang mampu menterjemahkan amanat dari pemerintah pusat untuk diadopsi dan diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan warga kota Medan.
Koordinasi yang baik dengan Pemerintah Pusat tentu akan sangat membantu Pemko Medan dalam mempercepat pengadaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk mengurai kemacetan.
"Misalnya dalam membentuk sistem transportasi umum yang terintegrasi, pembuatan jembatan layang di tempat-tempat rawan macet, dan lain-lain, memang butuh bantuan dari Pemerintah Pusat dan tidak bisa mengandalkan APBD semata," ungkap Fadli.
Dirinya yakin pemerintah pusat akan membantu pengembangan Kota Medan asal dijalin komunikasi yang intens dan disampaikan dalam bentuk perencanaan yang matang dan terintegrasi.
"Diharapkan, perbaikan-perbaikan terhadap hal-hal tersebut di atas dapat menyokong kemajuan dan perbaikan bidang-bidang fundamental lainnya seperti tenaga kerja, kesehatan, infrastruktur dan layanan publik lainnya," tambah Fadli.
(JW/CSP)