Anak-anak bersama para ibu. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Stunitng merupakan sebuah penyakit bukan hanya sekadar kurang gizi tapi harus diobati dengan pangan khusus untuk kebutuhan medis khusus (PKMK) dan bukan hanya sekadar dengan makanan tambahan.
"Jika dalam 1.000 hari pertama dalam kehidupan tidak diobati secara serius, maka anak stunting sudah tidak bisa lagi disembuhkan dan masa depannya akan kurang baik karena selain pendek kemampuan otaknya juga di bawah rata-rata," kata Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor Damayanti di Jakarta, Rabu (9/11).
Secara nasional, jika jumlah prevalensi stunting besar, maka sumber daya manusia Indonesia ke depan tentunya akan rendah kualitasnya.
Ia menjelaskan, stunting merupakan sebuah masalah kesehatan di mana seorang bayi atau anak-anak mengalami hambatan dalam pertumbuhan tubuhnya, sehingga gagal memiliki tinggi yang ideal pada usianya dan ketika dewasa kemampuan otaknya atau intelektualitasnya juga rendah.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo mengatakan, sebagai salah satu Program Strategis Nasional (PSN), program penanganan stunting terus dipantau banyak pemangku kepentingan mengingat dampaknya bagi kelangsungan dan kualitas generasi mendatang.
Namun terobosan yang diharapkan terjadi dan dilakukan oleh Kemenkes masih harus menunggu petunjuk teknis atas Permenkes No 29 tahun 2019 yang masih belum dikeluarkan oleh Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes.
"Juknis menjadi penting untuk menjalankan Permenkes No. 29 Tahun 2019. Juknis tersebut seharusnya berisi cara mengidentifikasi anak gizi kurang dan gizi buruk, memberikan pemahaman Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK), persyaratan komposisi penggunaan PKMK, pemahaman anak bermasalah gizi, pemantauan program evaluasi pelaporan program," ujar Agus.
Agus berharap sebelum akhir tahun 2020, Juknis sudah selesai sehingga dapat segera diterapkan, termasuk melakukan program pelatihan untuk para dokter umum dan para medis di Puskesmas/Posyandu untuk menyamakan persepsi tentang stunting, termasuk mendeteksi dan menanganinya.
Ia melihat, penyusunan Juknis oleh Kemenkes dibawah komando Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Gizi Masyarakat terkendala oleh penanganan pandemi Covid-19.
“Kami berharap isi Juknis yang disusun terintegrasi dan disepakati oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota. Kemenkes harus menyediakan anggaran termasuk untuk pengadaan PKMK, deteksi dini penanganan stunting dalam 1.000 hari kelahiran serta monitoring evaluasinya,” ujarnya.
Penanganan stunting pemerintah di pengujung kabinet lalu menunjukkan hasil yang gemilang. Tetapi di tahun 2020 tidak ada pergerakan penurunan prevalensi stunting yang signifikan.
Ia memperkirakan, jika pandemi belum dapat diatasi pada 2021 dan penanganan stunting tidak ada percepatan, maka target prevalensi stunting 14% pada 2024 tidak bisa tercapai.
Menurut dia, anak merupakan kelompok rentan pada masa pandemi, namun memiliki peran besar bagi kelangsungan bangsa ini. Karena itu,pejabat yang menangani stunting tidak boleh bersikap business as usual karena Presiden menegaskan bahwa jangan menganggap situasi ini seperti situasi biasa.
Kasus stunting di Indonesia per 2019 mencapai 27,67 persen lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 20 persen, dan jauh dari target untuk menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen di tahun 2024.
Menurut Absensi data dasar Puskesmas 2018 melalui aplikasi Komdat per 31 Agustus 2019, jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia dengan beragam klasifikasi dan kondisi sekitar 9.993.
Jika Juknis dapat keluar Desember 2020, maka Tahun Anggaran 2021 pelaksanaan Permenkes No. 29 tahun 2019 sudah dapat langsung dikebut.
(TRY/CSP)