Kecelakaan SJ182, Jurnalis Perlu Perhatikan Aspek Etik

Kecelakaan SJ182, Jurnalis Perlu Perhatikan Aspek Etik
Petugas memeriksa kantong jenazah berisi bagian tubuh korban pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta - Pontianak yang hilang kontak di perairan Pulau Seribu, di Dermaga JICT, Jakarta, Senin (11/1). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa)

Analisadaily.com, Jakarta - Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 rute Jakarta–Pontianak (PNK) jatuh pada Sabtu (9/1) pukul 14.40 WIB di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Pesawat tersebut diawaki oleh 6 kru aktif, 6 kru tambahan, serta mengangkut 40 penumpang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi.

Peristiwa ini mendapat liputan luas media massa, termasuk meliput ke lokasi dugaan jatuhnya pesawat, mewawancarai banyak narasumber, termasuk otoritas penerbangan dan keluarga korban.

Namun dalam proses peliputan dan pemberitaan inilah dilaporkan ada yang dinilai tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Karena itu, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Revolusi Riza menyampaikan, jurnalis dan media perlu memperhatikan aspek etik dalam peliputan kecelakaan Sriwijaya Air.

Kata dia, ada beberapa contoh tindakan jurnalis yang dinilai tidak sesuai KEJ. Antara lain, jurnalis yang mencecar dengan pertanyaan "bagaimana perasaan Anda”, “Apa Anda punya firasat sebelumnya" kepada seseorang yang keluarganya menjadi korban kecelakaan. Ada juga media yang mengangkat topik soal gaji pilot pesawat nahas itu.

"Contoh di atas mengesankan jurnalis dan media kurang menghormati pengalaman traumatik keluarga korban dan juga publik. Ada juga media yang menulis soal ramalan kejatuhan pesawat itu yang sumbernya dari peramal," kata Revolusi dalam siaran persnya, Senin (11/1).

Masih kata Revolusi, menghormati pengalaman traumatis korban memang tidak disebut eksplisit dalam Pasal 2 KEJ, namun itu terdapat penjelasannya. Pasal 2 KEJ mengatakan, Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

"Salah satu bentuk dari sikap profesional itu adalah menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara," ujarnya.

Menurut dia, menghormati pengalaman traumatis narasumber adalah impementasi dari prinsip minimizing harm atau meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak kerja jurnalistik.

Prinsip ini pula yang menjadi dasar penyamaran identitas anak pelaku kejahatan dan korban kejahatan susila dalam pasal 5 KEJ. Beberapa prinsip penting lain dalam KEJ adalah: fungsi jurnalisme “mencari kebenaran”, “bekerja untuk kepentingan publik”, “berusaha menjaga independensi”.

Melihat bagaimana jurnalis dan media meliput dan mempublikasikan berita soal peristiwa kecelakaan Sriwijaya Air tersebut, AJI Indonesia menyerukan, jurnalis dan media harus menghormati pengalaman traumatik keluarga korban Sriwijaya Air dengan tidak mengajukan pertanyaan yang bisa membuatnya lebih trauma, termasuk dengan pertanyaan.

Kemudian, tetap memegang prinsip profesionalisme seperti diatur dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Salah satu prinsip bekerja secara profesional adalah dengan menggunakan sumber informasi yang kredibel dan kompeten.

Lalu, lanjutnya menjelaskan, media sebaiknya lebih fokus menjalankan fungsi “informatif” dan “kontrol sosial” dan menghindari sisi yang relevansinya jauh dari peristiwa, apalagi kalau sampai mengesankan tidak menghormati pengalaman traumatik keluarga korban.

"Mengangkat soal gaji pilot atau awak penerbangan dan semacamnya mungkin bersifat informatif, tapi kurang tepat pada saat sekarang ini. Kecuali ada indikasi kuat dalam proses penyelidikan bahwa itu menjadi faktor signifikan dalam kecelakaan," tuturnya.

Jurnalis dan media juga perlu lebih mengungkap soal aspek tanggungjawab dari perusahaan dan otoritas penerbangan soal keamanan dan kalaikan pesawat, agar bencana serupa tak terulang di masa mendatang.

Terakhir, ia menambahkan, jurnalis juga perlu tetap mengikuti protokol kesehatan dalam liputan kecelakaan Sriwijaya Air ini, dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak fisik yang aman untuk menghindari penularan Covid-19.

"Selain soal kesehatan, yang juga tetap harus diperhatikan adalah aspek keselamatan dalam liputan. Jurnalis yang bertugas dalam liputan pencarian korban dan puing pesawat di Kepulauan Seribu, hendaknya menggunakan alat keselamatan seperti baju pelampung," tambahnya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi