Imbauan tanpa rokok (ANTARA FOTO/Eric Ireng)
Analisadaily.com, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Renny Nurhasanah mengatakan, konsumsi rokok yang tidak terkendali dapat berdampak terhadap kemiskinan hingga kekerdilan pada anak.
"Akibat dari harga rokok yang masih terjangkau adalah peningkatan perokok anak, anak 'stunting' (kekerdilan), kemiskinan, hingga mengganggu program bantuan sosial pemerintah," kata Renny dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara virtual dilansir dari
Antara, Senin (25/1).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok anak mencapai 9.1 persen, jauh dari sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yang dapat diturunkan menjadi 5.4 persen.
Prevalensi perokok anak, kata dia, terus meningkat. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok anak 7.2 persen, sedangkan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 mencatat 8.8 persen.
"Rokok juga menjadi salah satu faktor risiko kesakitan, kematian, dan disabilitas. Kejadian anak 'stunting' 5.5 persen lebih tinggi pada anak dengan orang tua yang merokok," tuturnya.
Ia menyebut rokok juga berdampak pada kemiskinan. Prevalensi perokok pada penduduk termiskin lebih tinggi daripada pada penduduk terkaya.
Survei Badan Pusat Statistik juga selalu menempatkan belanja rokok pada posisi kedua setelah beras, dan menjadi salah satu pengeluaran terbesar pada rumah tangga termiskin.
Program bantuan sosial dari pemerintah juga terancam dengan konsumsi rokok yang tinggi, meskipun pemerintah sudah mengimbau penerima bantuan sosial untuk tidak membelanjakan bantuan yang diterima untuk membeli rokok.
"Keluarga penerima bantuan sosial yang perokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial yang tidak merokok," katanya.
(CSP)