Demokrasi Dimiliki Jika Kediktatoran Militer Diakhiri

Demokrasi Dimiliki Jika Kediktatoran Militer Diakhiri
Para pengunjuk rasa memegang poster selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 7 Februari 2021. (AFP/Ye Aung Thu)

Analisadaily.com, Yangon - Ribuan orang turun di jalan-jalan pada hari kedua di kota terbesar Myanmar untuk memprotes penggulingan kekuasaan sipil dan penahanan oleh junta militer terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi pekan lalu.

Para pengunjuk rasa di Yangon membawa balon-balon merah "warna yang mewakili Liga Nasional Suu Kyi untuk Partai Demokrasi (NLD)".

"Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi," teriak massa dilansir dari Antara, Minggu (7/2).

Menjelang tengah hari, sekitar 100 orang juga berkumpul di kota pesisir Mawlamine di tenggara dan mahasiswa serta dokter berkumpul di kota Mandalay.

Kudeta militer di Myanmar itu dikecam para pemimpin dunia juga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Mereka mendesak pemimpin militer Myanmar melepaskan kekuasaan yang direbutnya dan membebaskan para politisi.

Militer berargumentasi bahwa pemilihan umum yang dimenangkan Aung San Suu Kyi itu berlangsung tidak jujur. Militer juga mendakwa Suu Kyi melakukan tindakan melanggar hukum dengan mengimpor handy talky secara ilegal.

"Saya sangat membenci kudeta militer dan saya tidak takut akan tindakan keras. Saya akan bergabung setiap hari sampai Amay Suu (Ibu Suu) dibebaskan," kata Kyi Phyu Kyaw, seorang mahasiswa berusia 20 tahun dilansir dari Channel News Asia.

"Kami telah memutuskan. Kami akan berjuang sampai akhir. Generasi berikutnya bisa memiliki demokrasi jika kita mengakhiri kediktatoran militer ini," kata Ye Kyaw, seorang mahasiswa ekonomi berusia 18 tahun.

Dalam pidatonya yang menyinggung soal kudeta di Myanmar, Presiden AS Joe Biden antara lain mengatakan tidak pernah diragukan lagi bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi, militer tak boleh membatalkan hasil pemilihan umum.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi