PBB Khawatir Situasi di Myanmar Tidak Terkendali

PBB Khawatir Situasi di Myanmar Tidak Terkendali
Para pengunjuk rasa di Yangon, Myanmar Rabu 17 Februari 2021. (Naung Kham)

Analisadaily.com, Yangon - Ribuan orang berunjuk rasa di Yangon untuk memprotes kudeta militer, meskipun terjadi peningkatan pasukan dan kekhawatiran akan kekerasan meningkat.

"Hari ini adalah hari dimana kami harus berjuang sampai akhir. Kami perlu menunjukkan persatuan dan kekuatan kami untuk mengakhiri kekuasaan militer. Orang-orang harus turun ke jalan," kata seorang mahasiswa berusia 21 tahun kepada AFP.

Juru bicara partai Liga Nasional untuk Demokrasi dari pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi, Kyi Toe, menulis sebuah posting di halaman Facebook-nya.

“Mari berbaris secara massal. Mari kita tunjukkan kekuatan kita melawan pemerintahan kudeta yang telah menghancurkan masa depan pemuda dan negara kita,” tulis Toe dilansir dari Channel News Asia, Rabu (17/2).

Utusan khusus PBB, Tom Andrews mengatakan, dia khawatir situasinya tidak terkendali, dengan laporan tentara dibawa ke ibukota komersial dari daerah terpencil.

“Dulu, pergerakan pasukan seperti itu mendahului pembunuhan, penghilangan, dan penahanan secara massal. Saya takut mengingat pertemuan kedua perkembangan ini, protes massal yang direncanakan dan pasukan berkumpul, kita bisa berada di tebing di mana militer melakukan kejahatan yang lebih besar terhadap rakyat Myanmar,” kata dia dalam pernyataan di Jenewa.

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengeluarkan kecaman keras atas manuver hukum terhadap Aung San Suu Kyi.

"Tuduhan baru terhadap Aung San Suu Kyi yang dibuat oleh militer Myanmar jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kami mendukung rakyat Myanmar dan akan memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kudeta ini dimintai pertanggungjawaban,” tulis Boris di Twitter.

Militer berpendapat ada kecurangan dalam pemilihan tahun lalu, yang dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi, dan mengatakan akan memegang kekuasaan selama setahun sebelum mengadakan pemilihan baru. Komisi pemilu tidak menemukan bukti untuk mendukung klaim penipuan.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi