Bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (Foreign Affairs)
Analisadaily.com, Jenewa - Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk pembunuhan sembilan aktivis oleh polisi Filipina dalam penggerebekan akhir pekan terhadap tersangka pemberontak. Organisasi itu mendesak pihak berwenang untuk menghindari retorika yang dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.
Kelompok hak asasi manusia menuduh Presiden Rodrigo Duterte mendorong tindakan keras terhadap aktivis untuk membungkam perbedaan pendapat dan menargetkan para pengkritiknya, dengan kedok operasi kontra-pemberontakan yang intensif terhadap pemberontak Maois.
Pemerintahnya mengatakan, pembunuhan hari Minggu adalah operasi yang sah dan sah, tetapi menjanjikan penyelidikan penuh.
"Kami sangat khawatir, pembunuhan terbaru ini menunjukkan peningkatan kekerasan, intimidasi pelecehan dan 'tanda merah' dari para pembela hak asasi manusia," kata juru bicara hak asasi manusia PBB, Ravina Shamdasani dalam jumpa pers di Jenewa dilansir dari Channel News Asia, Selasa (9/3).
Sebuah kelompok gereja yang berpengaruh menyatakan kekhawatiran atas pembunuhan dan kekhawatiran tentang "penandaan merah", atau pelabelan lawan sebagai komunis atau teroris untuk membenarkan penargetan mereka.
Kelompok hak asasi menyampaikan, mereka yang tewas dalam penggerebekan hari Minggu adalah para aktivis, bukan kombatan.
Kematian mereka terjadi dua hari setelah Duterte mengatakan kepada pasukan keamanan, bahwa mereka dapat membunuh pemberontak komunis jika mereka memegang senjata, dan "mengabaikan hak asasi manusia".
Aktivis mengatakan penggerebekan itu mengingatkan pada ribuan operasi polisi yang mematikan di bawah tindakan keras anti-narkoba berdarah Duterte, di mana polisi mengatakan semua korban bersenjata dan menolak penangkapan.
Kritikus menuduh Duterte secara terbuka mendorong polisi untuk membunuh tersangka narkoba. Kantornya menolak itu.
Shamdasani mendesak polisi untuk mengambil tindakan mendesak untuk mencegah penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pemerintah serta pasukan keamanan untuk menahan diri dari retorika yang dapat menyebabkan pelanggaran.
Shamdasani mengatakan penyelidikan harus dilakukan dengan maksud untuk akuntabilitas.
"Faktanya tetap bahwa sebagian besar pelaku pelanggaran hak asasi manusia menikmati impunitas hingga hari ini," tambah Shamdasani.(CSP)