Ketua Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (LPER) Sumatera Utara, Ronald Naibaho, foto bersama dengan para narasumber usai seminar ‘Iptek dan Kebijakan Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sumatera Utara di ruang Justin Sihombing, Universitas HKBP Nommensen Meda (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan – Ketua Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (LPER) Sumatera Utara, Ronald Naibaho mengatakan, mereka ingin agar pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian menjadi fokus semua stakeholder. Karena menurut dia, masalah ketahanan pangan menjadi isu global.
Atas dasar itu, LPER Sumut mencoba berkontribusi, yakni bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan, melaksanakan seminar ‘Iptek dan Kebijakan Mewujudkan Ketahanan Pangan di Sumatera Utara.
“Ketersediaan bahan pangan menjadi isu yang penting dibahas dan dipersiapkan, mengingat ini menjadi isu global. Lewat seminar ini kita ingin agar pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian jadi fokus semua orang,” kata Ronald saat membuka seminar di ruang Justin Sihombing, Kamis (11/3).
Dia menjelaskan, dalam kegiatan ini diharapkan, masalah-masalah ketahanan pangan dapat tereksplorasi dan diperoleh solusinya. Hasil seminar ini, kata dia, nantinya disampaikan ke pemerintah daerah dan berbagai kalangan agar diperhatikan.
“Sehingga, rakyat bisa terbantu. Selain itu, kami juga mendorong agar Perguruan Tinggi mengambil peran, seperti FP UHN Medan,” ujarnya.
Sebelum dimulainya paparan narasumber mengenai prospek dan tantangan mewujudkan ketahanan pangan, penasehat LPER Sumut, Naslindo Sirait, berharap agar dialog ilmiah ini melahirkan sejumlah rekomendasi untuk pemerintah dalam rangka membuat kebijakan peningkatan ketahanan pangan di Sumut ke depan.
Apalagi, menurut Badan Pusat Statistik, masih banyak warga yang mengalami kerawanan pangan. Tentu dengan pandemi Covid-19 sekarang, kondisi ini dikhawatirkan akan semakin meningkat.
Demikian juga kata Wakil Pembantu Rektor IV, Samse Simanungkalit. Dia mengatakan, apa yang dilakukan LPER Sumut dan FP UHN sangat selaras dengan harapan universitas dalam rangka kerjasama mewujudkan ketahanan pangan, termasuk juga pengabdian pada masyarakat.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, Mery Rouli Saragih menyampaikan, strategi ke depan bagaimana mendorong masyarakat kembali bisa menikmati hasil pertaniannya. Menurut dia, selama ini, profesi sebagai petani tidak lagi menjanjikan di pikiran masyarakat.
Padahal, lanjut Meryl, tanpa pertanian, bagaimana masyarakat bahkan bangsa ini mencapai ketahanan pangan. Untuk itu, perlu membangun sistem from farm to table. Bagaimana petani bisa langsung menjual produknya ke konsumen tanpa melalui proses distribusi yang terlalu panjang.
"Petani bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi, sementara di konsumen harga tersebut masih rendah karena terlepas dari biaya distribusi yang panjang. Tentu untuk mewujudkan hal itu, petani harus dilatih dan didampingi pemerintah, termasuk pemerataan penyaluran pupuk, dan kenyamanan melakukan usaha pertanian,” kata politisi PDI Perjuangan itu.
Pada seminar ini, LPER Sumut menghadirkan pembicara, termasuk diantaranya akademisi FP UHN Medan, Jongkers Tampubolon, Perwakilan Bank Indonesia, Agustinus Fajar, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jonni Akim Purba.
Kemudian, Wakil Direktur Badan Urusan Logistik (Bulog) Sumatera Utara, Rudi Amran dan Wakil Direktur Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, Iswan Kaputra.
Dalam penjabarannya, Jongkers menjelasakan, ketahanan pangan mencakup tiga aspek, ketesediaan (availibility), keterjangkauan (affordability), dan pemanfaatan (consumption).
“Karena itu, pangan merupakan persoalan besar yang harus dikerjakan oleh banyak orang, termasuk penyelesaian melalui kebijakan meningkatkan kebijakan pangan,” kata Jongkers, yang juga mantan rector Universitas HKBP Nommensen Medan.
Masih kata dia, ketahanan pangan juga tidak bisa hanya dilihat dari sisi produksi pangan, tapi juga harus melihat kemampuan seseorang untuk menyediakan bahan pangannya dengan kemampuan finansial yang dimiliki.
"Seperti Singapura, meski dengan produksi bahan pangan dari sektor pertanian sangat rendah, tidak bisa dikatakan tidak memiliki ketahanan pangan. Sebab, mereka mampu mengadakan bahan pangan meski tidak memiliki lahan produksi yang mencukupi,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Jonni Purba mengatakan, dari sisi produksi bahan pangan seperti beras, Sumatera Utara surplus 1.8 juta ton.
"Bila dihitung per daerah, ya mungkin bisa ada yang kurang produksinya. Namun daerah sekitarnya bisa menutupi kebutuhan itu. Pemerintah provinsi Sumut juga hingga saat ini meningkatan periode pertanaman dengan harapan akan semakin meningkatnya produksi,” kata Jonni.
Dia menambahkan, surplus itu sangat baik, apalagi di masa pandemi Covid-19, sektor pertanian tetap stabil dibadingkan sektor lainnya, yang terdampak. Sehingga, mereka terus mendorong gerakan tanam, termasuk juga mengunjungi petani dan melakukan kontrol pertanaman.
Rudi pada kesempatan itu memaparkan peluang, tantangan dan rekomendasi sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan. Dia menyebutkan, tantangan saat ini masih terdapat komoditas pangan yang mengalami defisit, seperti bawang merah, putih, gula pasir dan daging ayam.
“Sedangkan peluangya, yakni terdapat beberapa komoditas pangan yang mengalami surplus di Sumatera Utara, beras, cabai merah, cabai rawit, minyak dan telur ayam. Maka rekomendasi kita adalah penguatan energi melalui program food estate, dan kerja sama antara daerah, lalu pendamping dan memberikan pelatihan kepada petani untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penerapan teknologi digital secara end to end process untuk meningkatkan produktivitas pertanian,” kata Rudi Arman.
Namun berbeda dengan yang sampaikan Iswan Kaputra, yang justru mendorong kedaulatan pangan ketimbang ketahanan pangan. Ditambah lagi, organisasinya sudah menerapkannya di desa dampingannya di beberapa daerah Sumatera Utara.
Kata dia, dilihat dari berbagai aspek, termasuk daya tahan pangan, diproduksi sendiri oleh komunitas lokal, keanekaragaman pangan berdasarkan histori dan kultur daerah setempat dan tidak memaksakan keseragaman pangan. Ketahanan pangan dapat dicapai dari mana saja, seperti impor asal harga murah dan pangan terpenuhi.
“Kemudian dari sisi sumber modal produksi, modal dari Pemerintah untuk mendukung petani kecil, ada juga modal sendiri, arisan desa atau serikat tani dan lain-lain. Sumber modal ketahanan pangan bisa didapat dari bank, swasta atau perusahaan,” kata Iswan saat memaparkan materinya
(CSP)