Liyanto Sudarso (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Masyarakat diimbau untuk mewaspadai investasi bodong. Jika ditawari dengan sebuah instrument investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi, jangan senang dulu. Bisa jadi sedang menjadi target investasi bodong.
Korban investasi bodong biasanya akan menikmati bunga investasi yang tinggi pada awal mula bergabung, supaya investornya tertarik untuk menamkan modal lebih banyak lagi pada investasi tersebut. Sampai semuanya sudah terlambat, ketika investor hendak menarik modalnya karena ada kebutuhan, tapi ternyata tidak bisa.
Korban investasi bodong masih sangat banyak di Indonesia hingga sampai sekarang. Tahun lalu sebelum Covid-19 melanda dunia, Indonesia sempat digemparkan dengan banyaknya kasus gagal bayar bermacam instrument investasi yang berwujud surat utang, reksa dana, saham, emas, asuransi yang menyeret nama institusi-institusi besar terkenal di Indonesia bahkan BUMN sekalipun.
“Sebenarnya masih banyak juga investasi bodong yang belum terpapar di publik, termasuk mereka yang memiliki kedok Multi-Level Marketing atau MLM,” kata Pakar Pasar Modal Indonesia, Liyanto Sudarso, CSA, dalam keterangan resmi diperoleh Rabu (24/3).
Diterangkannya, investor adalah makhluk rasional, wajar mereka ingin mendapatkan imbal hasil yang setinggi-tingginya dari hasil investasi. Namun mereka juga lupa, instrument investasi yang menawarkan imbal hasil tinggi datang dengan risiko, tinggi sesuai dengan filosofi investasi yang terkenal, yaitu “High Risk High Return”.
Liyanto Sudarso, CSA, yang juga Wakil Manajer Investasi (WMI) sebagai Fund Manager dan Juga Co-Founder dari perusahaan Penasihat Investasi, PT Wahana Tumbuh Investasi, memberikan “3 Check List” untuk dilakukan kepada sebuah instrument investasi agar dapat menentukan apakah sebuah produk investasi sebenarnya berbahaya atau tidak untuk seorang investor.
Check List tersebut adalah, pertama, apakah produk investasi tersebut menawarkan pokok investasi yang aman atau disebut Credit Risk. Kedua, Apakah produk investasi tersebut menawarkan imbal hasil yang nyaman atau Inflation Risk, dan ketiga apakah produk investasi tersebut gampang dicairkan pokoknya atau Liquidity Risk.
“Saat mendapatkan penawaran produk investasi dari seseorang, pertanyaan pertama yang harus ditanyakan adalah apakah uang yang menjadi pokok dari nilai investasi tersebut berpotensi untuk berkurang atau bahkan hilang menjadi nol di dalam perjalanan investasi? Contohnya, jika berinvestasi pada saham dan salah memilih emiten, bisa saja nilai investasi menjadi nol,” jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, jika orang yang menawarkan investasi tersebut mengatakan nilai pokok investasi akan aman-aman saja, maka pernyataan kedua adalah berapa potensi imbal hasil yang akan diberikan dari produk investasi tersebut.
“Nah, di sini sebagai investor sudah bisa mulai melihat apakah produk ini rasional atau tidak. Produk investasi yang menjamin kemanan pokok investasi nasabah lebih aman biasanya tidak akan memberikan imbal hasil yang terlalu tinggi,” sebut Liyanto.
Terkait hal itu, Liyanto memberikan contoh, yaitu deposito bank sekelas BCA, BRI, Mandiri, dan BNI. Jika imbal hasil yang ditawarkan terlalu tinggi, harus sudah mulai curiga produk investasi tersebut ada yang tidak transparan.
Untuk mengetahui apakah imbal hasil yang ditawarkan masih masuk akal atau tidak, bisa mencari tahu perbandingan produk investasi sejenis di tempat lainnya. Salah satu produk investasi yang terseret kasus gagal bayar di akhir tahun 2019 sampai awal 2020 adalah dalam bentuk reksa dana saham.
Banyak investor yang tergoda pada satu jenis reksa dana yang memberikan imbal hasil pasti dalam setahun yang bekisar antara 9 sampai 12%. Padahal saat itu kondisi pasar saham sedang tidak begitu bullish.
“Sebagai investor harus mulai bertanya bagaimana itu bisa terjadi? Adakah yang kurang transparan dari produk investasi ini? Sayangnya banyak investor yang berfikir dan menanyakan, tapi malah memuji-muji reksa dana tersebut. Sampai terakhir semua faktanya terbongkar dan investor harus gigit jari menunggu proses PKPU dari pengadilan,” terangnya.
Pertanyaan terakhir yang harus ditanyakan adalah seberapa mudah uangnya untuk dicairkan menjadi cash saat membutuhkan. Investasi yang menawarkan imbal hasil tinggi dan menjamin pokoknya tidak akan hilang, dan biasanya tidak akan mudah untuk dicairkan sampai ada investor baru yang masuk menggantikan.
“Semua berjalan dengan lancar saat investasi yang berjalan dengan skema ‘Money Game’ ini masih laku untuk dipasarkan. Semua akan berakhir saat sedikit tersentil berita negatif atau terjadi penarikan besar-besaran pada produk investasi tersebut, yang dapat mengakibatkan gagal bayar seperti yang sudah terjadi,” sebut Liyanto.
Terakhir, Liyanto menuturkan, dari semua penjabaran di atas, jangan lupa sebagai investor harus memastikan kalau produk yang diinvestasi, yang ditawarkan sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Sekali lagi, tidak mungkin ada produk investasi di dunia ini yang memiliki tiga fitur kenyamanan di atas secara bersamaan, yaitu pokok investasi aman, imbal hasil tinggi, dan pokok investasi mudah dicairkan. Jika ada, mungkin ada beberapa hal yang tidak diberitahukan secara transparan,” tandasnya.
(RZD)