Seorang Balita yang selamat pasca serangan udara di negara bagian Karen, Myanmar tengah mendapat perawatan dari Kelompok kemanusiaan Kristen. (AFP/Handout)
Analisadaily.com, Yangon - Seorang balita Myanmar selamat dari serangan udara akhir pekan kemarin yang menewaskan ayahnya di gubuk bambu dekat perbatasan negara yang dilanda kudeta dengan Thailand.
Negara ini berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, memicu protes massa yang menuntut kembalinya demokrasi.
Pada Sabtu malam, militer Myanmar melancarkan serangan udara pertama di negara bagian Karen, beberapa jam setelah kelompok pemberontak merebut pangkalan militer.
Di antara target sasaran adalah pondok bambu Saw Ta Eh Ka Lu Moo Taw, hampir tiga tahun, yang tinggal di lembah Day Bu Doh bersama orang tua petani.
"Dia sedang duduk di pangkuan ayahnya saat itu dan pecahan bom menewaskan ayahnya. Anak laki-laki itu memiliki luka robek di lehernya dan masih ada beberapa pecahan di dalam dirinya," kata David Eubank dari Free Burma Rangers kepada AFP, mengatakan sang ayah, Saw Aye Lay Htoo, 27, meninggal seketika.
Dilansir dari Channel News Asia, Senin (29/3), Kelompok kemanusiaan Kristen menjalankan klinik kesehatan di daerah tersebut dan memberikan perawatan medis kepada bocah itu.
Eubank mengatakan, petugas medis akan mencoba mengeluarkan pecahan peluru dengan operasi kecil.
"Anak laki-laki dan ibunya dalam keterkejutan dan kesedihan. Anak laki-laki itu tahu bahwa ayahnya telah meninggal," katanya.
Petugas kesehatan khawatir anak tersebut bisa terkena infeksi dari pecahan logam dan memberinya antibiotik.
Diperkirakan 3.000 orang etnis Karen telah melarikan diri melalui hutan dan sungai untuk mencari keselamatan melintasi perbatasan di Thailand saat serangan udara berlanjut pada hari Minggu dan Senin.
Diperkirakan 10 anak dilaporkan tewas pada hari Sabtu, hari paling berdarah dari penumpasan militer terhadap protes anti-kudeta, dengan lebih dari 100 orang tewas di seluruh negeri.
Di antara korban tewas adalah seorang bocah lelaki berusia 13 tahun bermain di luar rumahnya di Yangon dan seorang gadis berusia 11 tahun yang peti mati pada hari Minggu diisi dengan boneka dan buku mewarnai putri.
"Selain dampak langsung dari kekerasan, konsekuensi jangka panjang dari krisis bagi anak-anak negara bisa menjadi bencana besar," kata Direktur eksekutif badan anak PBB UNICEF, Henrietta Fore, dalam sebuah pernyataan.
Di Yangon, seorang gadis berusia satu tahun dalam pemulihan dari operasi setelah ditembak di matanya dengan peluru karet saat bermain di dekat rumahnya pada hari Sabtu, yang juga merupakan hari ulang tahunnya.
Seorang teman keluarga mengatakan kepada AFP bahwa gadis itu akan buta seumur hidup. Sementara itu, di seberang Yangon, keluarga lain berkumpul di sekitar balita yang menjalani operasi pada hari Senin setelah sebagian telinganya terlepas.
"Telinganya rusak total dan sebagian kepalanya juga terluka di belakang telinga," kata ayahnya kepada AFP, seraya menambahkan keluarga itu berjuang untuk memenuhi kebutuhan dan tidak tahu bagaimana mereka akan membayar biaya pengobatannya.
Dalam sebuah tindakan pembangkangan ketika korban dan kematian anak-anak meningkat, 60 anak muda di sebuah kota di negara bagian Karen timur menggelar parade protes mereka sendiri ditemani oleh ibu mereka pada hari Senin.
Mereka berpawai dengan pakaian etnik Karen yang berwarna-warni membawa tanda bertuliskan "Ganyang kediktatoran militer".(CSP)