Pengusiran Jurnalis, KontraS: Tidak Patut Dimaklumi

Pengusiran Jurnalis, KontraS: Tidak Patut Dimaklumi
Dua orang pengunjuk rasa mengangkat poster yang berisi kritikan saar demonstrasi di depan kantor Wali Kota Medan, Senin (19/4). (Analisadaily/Christison Sondang Pane)

Analisadaily.com, Medan - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara memberikan tanggapan atas dugaan pengusiran dua jurnalis oleh petugas keamanan Wali Kota Medan, Bobby Nasution

Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis, menilai permasalahan ini tidak sepele. Massifnya aksi protes menunjukan ada yang tidak beres dalam pemenuhan kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Wali Kota Medan.

"Tentu ini persoalan serius. Di era demokrasi dan keterbukaan informasi seperti saat ini, perintangan terhadap kerja-kerja jurnalis bukan hal yang patut dimaklumi,” kata Amin, Selasa (20/4).

Kata dia, saat ini yang diperlukan bukan narasi pembelaan atas insiden pengusiran dan intimidasi. Tapi bagaimana Wali Kota Medan bisa bersikap bijak, serta mau menyelesaikan akar persoalan.

"Akar masalahnya soal tim pengamanan Wali Kota Medan yang dianggap berlebihan, sehingga menggangu hak konstitusional rekan-rekan juranalis. Itu yang wajib diperbaiki, di evaluasi," tegasnya.

Seharusnya, Amin lanjut memaparkan, momentum ini dijadikan sebagai bahan evaluasi terhadap jajaran tim pengamanannya, yang kerap bersentuhan dengan jurnalis di lapangan.

Kedepan, harus terbangun komitmen agar kejadian serupa tidak terulang, serta menjamin kerja-kerja jurnalis bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Ia pun menyampaikan, publik hendaknya tidak sempit memandang masalah hanya dari satu kasus pengusiran di balai Kota.

“Bagi rekan-rekan jurnalis, Insiden dugaan pengusiran dan intimidasi kemarin hanyalah puncak dari akumulasi berbagai tindakan yang selama ini membuat mereka tidak nyaman menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya. Wajar resistensi semakin membesar dan gerakan protesnya masif,” ujarnya.

Masih kata Amin, wacana keterbukaan informasi dan kemerdekaan pers bukanlah hal yang patut untuk dipersoalkan lagi. Di era saat ini, isu itu harusnya sudah tuntas. Munculnya pembatasan terhadap kerja jurnalistik membuat kita seolah-olah mundur ke zaman orde baru.

"Agak miris jadinya, saat Kota Medan dipimpin anak muda, plus ada dalam era yang demokratis, tapi justru yang muncul malah masalah beginian," tuturnya.

Kontras Sumut juga mengkritik upaya penyelesaian Wali kota Medan atas kisruh yang terjadi. Setelah diawal mencoba merangkul beberapa jurnalis sembari melakukan klarifikasi, sekarang justru terkesan mendiamkan persoalan. Alhasil, polemik makin berkepanjangan.

“Langkah yang dipilih memang hanya untuk meredam persoalaan, bukan menyelesaikan permasalahan,” katanya.

Saat ini, menurut Amin, kunci penyelesaian ada di tangan Wali kota Medan. Apakah menggangap protes jurnalis ini hanya soal remeh, atau justru masalah serius yang bisa berdampak sistemik. Tidak hanya untuk kemerdekaan pers, tapi juga untuk kerja-kerja pemerintah Kota Medan.

“Ini bukan tentang bisa atau tidak bisa, tapi lebih kepada mau atau tidak mau masalah ini diselesaikan,” ujarnya.

Sebelumnya, dugaan perintangan dan intimidasi ini terjadi saat dua jurnalis Rechtin Hani Ritonga (Harian Tribun Medan) dan Ilham Pradilla (Suara Pakar) hendak melakukan wawancara cegat (doorstop) kepada Bobby di Pemko Medan, Rabu (14/4) sore. Mereka menunggu Bobby di depan pintu masuk lobby depan.

Selang beberapa saat, mereka didatangi oleh Satpol PP yang mengatakan mereka tidak boleh mewawancarai Bobby. Satpol PP itu mengatakan, untuk melakukan wawancara harus memilik izin. Hani dan Ilham tetap menunggu Bobby.

Sekitar pukul 17.00 WIB, Hani dan Ilham mendekat ke pintu lobi. Karena mereka melihat ada tanda-tanda Bobby akan turun. Petugas pengamanan dari kepolisian dan Paspampres kemudian mengusir mereka. Petugas pengamanan kembali mengatakan soal izin wawancara, bukan di dalam jam kerja, dan mengganggu kenyamanan dan ketertiban.

Saat itu, Hani merasa diintimidasi karena salah satu Paspampres membentaknya untuk mematikan dan meminta menghapus rekaman kejadian. Rekannya Ilham juga diminta mematikan rekaman video.

Sebelumnya, Komandan Paspampres Mayjen Agus Subianto sudah menyampaikan klarifikasinya. Agus menyampaikan, dua jurnalis itu dianggap sebagai orang yang masuk ke Pemko Medan tidak sesuai dengan prosedur.

“Di awali datang 2 orang, masuk ke pemkot tidak sesuai prosedure dan tidak menggunakan tanda pengenal, kwmudian dicegah oleh polisi dan satpol PP, kemungkinan ditegur tidak terima,” ujar Agus lewat pesan singkat, Kamis (15/4).

Wali Kota Bobby Afif Nasution dalam wawancaranya dengan awak media, Jumat (16/4) malam menanggapi soal tuntutan permintaan maaf kepada awak media. Namun dari jawaban yang disampaikan, Bobby enggan meminta maaf.

“Tadi sudah saya sampaikan, yang penting ini, apa yang disampaikan ini, apa yang dikeluhkanlah kita bilang yah, tersampaikan dan dijalankan. Kalau tak dijalankan baru, silahkan nanti. Ini sudah kita berikan tempatnya. Kita sudah berikan apa yang menjadi persoalan teman-teman. Mungkin ada yang tidak pakai bed, tak ada tanda pengenal. Ayo kita sama-sama mengikuti. Jangan cari siapa yang salah. Tapi kita cari penyelesaian permasalahan. Udah itu saja,” ujar Bobby dalam kesempatan itu.

Jurnalis dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Pers menyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik dapat dipidana kurungan penjara selama dua tahun, atau denda paling banyak Rp500 juta.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi