Ilustrasi perundungan (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Penindasan, perundungan, perisakan, atau pengintimidasian (bullying) merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain.
Tujuan aktivitas ini untuk menyakiti dan kecenderungan dilakukan secara terus menerus, yang mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan, dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu; mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Tindakan perundungan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan
cyber.
Menurut Goldi Senna Prabowo aktivis
antibullying, Insiator Sudah Dong Malang dalam Webinar GREDU Ep. 06 #HebatdenganTerlibat, mengatakan, perundungan juga mencakup aktivitas yang hanya memuaskan salah satu pihak saja, sementara pihak lain menjadi bulan-bulanan atau merasa tersakiti, terpojokkan maupun kurang nyaman.
“Perundungan atau
bullying ini merupakan sebuah fenomena yang selalu menjadi topik di setiap negara, bahkan seluruh dunia. Kejadian perundungan pun dapat terjadi di lingkungan keluarga, kantor, tempat bekerja, dan sekolah. Bahkan lingkungan sekolah kerap menjadi salah satu tempat yang memiliki potensi adanya tindak kekerasan,” kata Goldi, Jumat (30/4).
Di Indonesia, kasus kekerasan atau perundungan di sekolah sudah merajalela, baik di tingkat sekolah, menengah, hingga perguruan tinggi. Padahal sebagai salah satu institusi pendidikan formal, sekolah diharapkan menjadi tempat yang aman bagi peserta didik.
Sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa: “
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Berdasarkan survei yang telah dilakukan GREDU terhadap kurang lebih 300 responden, sekitar 64% menyatakan mereka pernah terlibat perundungan di sekolah, 22% pernah menceritakannya ke guru di sekolah.
Hasil survei juga menyebutkan sekitar 79% dari seluruh responden mau mengadukan soal perundungan ke kepala sekolah apabila ada platform onlinenya. Sebanyak 87% responden juga mau bercerita ke guru bimbingan konseling apabila tersedia platform pengaduan via daring.
Saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berlangsung selama pandemi Covid-19, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menerima banyak pengaduan mengenai perundungan terutama di dunia maya.
Ketika sekolah berjalan secara daring, maka perundungan yang muncul juga bersifat daring atau dengan istilah lain
cyberbullying. Kemudian, KPAI juga menyatakan perundungan ini menjadi faktor penyebab tertinggi anak enggan pergi atau melanjutkan sekolah, selain karena faktor ekonomi maupun masalah keluarga.
Perundungan merupakan sebuah permasalahan yang sangat kompleks dan berbahaya, baik bagi pelaku, korban, ataupun saksi. Begitu pula perundungan yang terjadi di ranah sekolah. Persoalan seperti ini tidak dapat diselesaikan secara instan, namun perlu mengetahui akar permasalahan dari masing-masing individu. GREDU sejak awal telah menyediakan halaman Pengaduan yang ada di GREDU Student Web.
Pengguna dapat melaporkan peristiwa perundungan dengan memilih kategori kekerasan diberi tanggal dan judul yang jelas. Bahkan siswa bisa melampirkan gambar atau foto supaya tingkat validasinya tinggi dan menjadi bukti kuatbtelah terjadi tindakanp erundungan. Laporan ini diterima langsung oleh kepala sekolah.
Untuk laporan yang sudah dibuat bisa dilihat statusnya mulai dari laporan diterima, ditinjau hingga ditindak. Jadi, siswa yang mengalami perundungan ataupun saksi tidak perlu merasa takut dibilang sebagai “tukang ngadu”.
Dengan fasilitas tersebut, anak diajarkan untuk tidak takut dan menutup mata saat ketidakadilan terjadi. Laporan perundungan di Gredu Student Web bersifat rahasia atau anonim, sehingga siswa pelapor tetap merasa aman dan nyaman.
Berdasarkan hasil survei GREDU, sebanyak 87% responden akan bercerita kepada guru Bimbingan Konseling (BK) jika tersedia fasilitas pengaduan online. Oleh karenanya, GREDU berencana menambah fitur BK daring agar siswa bisa melakukan konsultasi apabila terjadi suatu hal negatif selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Selama ini ketika seorang siswa menuju ke ruangan BK di sekolah tatap muka, biasanya muncul
stereotype bahwa siswa tersebut mempunyai banyak masalah. Lebih parah lagi, siswa tersebut kadang dicap sebagai “tukang ngadu” terkait permasalahan yang ada di kelas oleh siswa lainnya.
Menurut GREDU, adanya fitur BK online ini akan membantu siswa agar terhindar dari
stereotype tersebut.
(RZD)