Perhimpunan Pergerakan 98 Desak Pemerintah Bentuk Satgas Mafia Obat dan Alkes

Perhimpunan Pergerakan 98 Desak Pemerintah Bentuk Satgas Mafia Obat dan Alkes
Perhimpunan Pergerakan 98 (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Aktivis 98 yang bergabung dalam wadah Perhimpunan Pergerakan 98 mendesak pemerintah agar membentuk satuan tugas pemberantasan mafia obat dan alat kesehatan (alkes).

Perhimpunan Pergerakan 98 menduga mafia obat dan alkes semakin menggurita dan mengendalikan operasional rumah sakit.

"Mafia obat dan alkes mengendalikan aspek hulu (bahan baku obat) hingga operasional rumah sakit. Indonesia akan menghadapi masa-masa terburuk pelayanan kesehatan jika mafia obat dan alkes tidak segera diberantas," kata Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang di Medan, Sabtu (24/7).

Sahat menuturkan, mafia obat dan alkes bahkan terang-terangan menawarkan keuntungan kepada pemangku kepentingan kesehatan dari level atas hingga praktik dokter.

"Ini yang membuat biaya kesehatan Indonesia mahal. Jadi momentum wabah virus corona yang sudah setahun lebih ini harus jadi titik masuk pemerintah pusat yakni Presiden dan Kapolri memberantas mafia obat dan alkes. Tidak sulit bagi Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri membentuk satgas pemberantasan mafia obat dan alkes," tuturnya.

Sahat membandingkan semangat kepolisian ketika membentuk satgas anti mafia bola dan satgas mafia tanah serta pembentukan satgas pangan sebagai perwujudan perintah Presiden Jokowi.

"Nah, kenapa satgas mafia obat dan alkes tidak dibentuk. Kenapa pemerintah terkesan membiarkan mafia obat dan alkes bermain mengendalikan harga. Pemerintah harus tegas memberantas dan menangkap mafia obat karena ketentuan harga eceran tertinggi obat sudah ada. Harga eceran tertinggi dinyatakan pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," terang Sahat.

Sahat mencontohkan penetapan harga eceran tertinggi obat generik yang dihitung berdasarkan Harga Netto Apotek (HNA) ditambah dengan PPN sebesar 10 persen serta margin apotek sebesar 25 persen.

"Berdasarkan kebijakan ini, HET dicantumkan pada label obat sampai pada satuan kemasan terkecil dan berlaku pada obat bebas dan obat ethical yakni obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Jadi panduan harga obat sebenarnya sangat jelas dan terang benderang," ujarnya.

Sahat menyebut, blusukan Presiden Jokowi ke sebuah apotek di Bogor untuk mencari ketersediaan obat terapi Covid-19 dan kelangkaan oksigen mestinya dijadikan momentum pemberantasan mafia obat dan alkes.

"Sebab kelangkaan obat dan oksigen tak melulu soal pasokan, tapi permainan mafia obat dan rumah sakit juga terlibat," ucapnya.

Sahat mencontohkan rumah sakit yang membeli oksigen dengan harga per meter kubik dan dijual per liter dengan keuntungan berkali-kali lipat sehingga produsen menaikkan bahkan menyimpan stok oksigen.

"Jadi jangan heran pembayaran pemerintah kepada rumah sakit yang menangani pasien Covid-19 membengkak menjadi Rp 22, 8 triliun dengan rincian Rp 8, 16 triliun periode Maret hingga Desember 2020 melonjak menjadi Rp 14, 7 triliun dari periode Januari hingga Juni 2021," tegas Sahat.

(JW/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi