Ilustrasi (Net)
Analisadaily.com, Mahkamah Syar’iyah Jantho, Aceh Besar, menggelar sidang perdana kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur atau bayi lima tahun (balita).
Perkara tersebut terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah Jantho dengan Register Nomor 1/JN.Anak/2021/MS.Jth dengan terdakwa anak, Fulan bin Fulen (bukan nama sebenarnya) yang masih berusia 14 tahun.
Skema persidangan perkara aquo digelar tertutup untuk umum dan hanya dihadiri oleh penuntut umum, anak pelaku, penasihat hukum dan pendamping anak dari pembimbing kemasyarakatan Dinas Sosial Aceh Besar.
Anak didakwa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar dengan dugaan pemerkosaan yang dilakukan terhadap teman sepermainannya, Mawar binti Melati (bukan nama sebenarnya) yang masih berusia 5 tahun (balita : bayi 5 tahun) di salah satu gampong yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Pasca kejadian anak korban perkosaan mengalami traumatik mendalam di usianya yang sangat belia yakni lima tahun.
Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho Siti Salwa SHI MH melalui juru bicaranya Fadlia, Jumat (1/10) menerangkan, kasus ini masih dalam pemeriksaan lebih lanjut dan akan digelar kembali persidangan minggu depan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli yang diajukan penuntut umum.
Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho Siti Salwa, melalui humas menyampaikan, dengan masuknya perkara ini ke Mahkamah Syar’iyah Jantho menjadi peringatan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya untuk terus memantau gerak-gerik tingkah polah perilaku anak selama masa tumbuh kembangnya, dibutuhkan arahan dan informasi terkait sex education yang tepat terhadap anak di masa pubertasnya agar tidak terjadi penyimpangan.
Juga diperlukan pemantauan terhadap anak-anak dalam kesehariannya bermain dengan teman sejawat atau pergaulannya di lingkungan, agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi ke depannya.
Sebagaimana diketahui bahwa persidangan kasus pidana anak diatur tersendiri dalam sistem menggunakan Undang-undang Nomor 11 TAHUN 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam proses hukum pada anak.
Dimana proses peradilannya tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, namun juga harus mencakup akar permasalahan anak yang melakukan tindak pidana.
Dan Undang-undang SPPA merupakan pengganti dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) serta pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi.
Dan anak yang mengalami masalah dengan hukum dikenal dalam Pengertian Anak Yang Berhadapan Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan saksi tindak pidana.
(MHD/EAL)