Seminar nasional dengan topik “Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Indonesia” (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Jakarta - Keselamatan penerbangan merupakan hal paling penting dalam kegiatan operasional transportasi udara. Seiring dengan perkembangan teknologi, potensi penggunaan unmanned aircraft system (UAS) atau remotely-piloted aircraft system (RPAS) atau lebih kita kenal sebagai Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak sangat erat kaitannya dengan keselamatan penerbangan.
Berkenaan dengan hal tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan bersama dengan Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggelar kegiatan seminar nasional dengan topik “Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Indonesia” pada Jumat (8/10).
Kepala Badan Litbang Perhubungan, Umar Aris mengatakan, penggunaan pesawat udara tanpa awak telah digunakan untuk berbagai kegiatan, yang dulunya hanya digunakan sebatas hobi saat ini berkembang pesat hingga mengarah ke transportasi. Sehingga diperlukan persiapan yang sangat matang dalam memberikan ruang bagi pesawat tanpa awak untuk beroperasi di udara.
“Dari beragam jenis pengkategorian dan klasifikasi pesawat tanpa awak menimbulkan tingkat risiko yang berbeda-beda. Namun masih banyak para penerbang atau operator yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap peraturan pengoperasian pesawat tanpa awak,” jelas Kepala Badan Litbang dalam sambutannya, ditulis Sabtu (9/10).
Menurutnya, untuk mengantisipasi adanya risiko tersebut, maka integrasi pesawat tanpa awak dalam operasi penerbangan dan ruang udara harus memenuhi 5 aspek utama yang meliputi keselamatan, keamanan, lalulintas udara, sosio-ekonomi, dan regulasi. Sebagai salah satu aspek prioritas, regulasi memegang peranan penting dalam menjamin berlangsungnya operasi pesawat tanpa awak yang selamat, tertib dan lancar.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara, Capt. Novyanto Widadi menyampaikan, pihaknya bersama dengan DRC FHUI telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berdasarkan kebutuhan untuk pengaturan lebih lanjut sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.
“Dengan adanya kajian yang dihasilkan oleh Balitbang Kemenhub dan DRC FHUI diharapkan dapat menciptakan sistem peraturan yang komprehensif dan harmonis di Indonesia serta menjawab tantangan-tantangan yang hadir pada masa kini maupun pada masa yang mendatang,” ungkap Novy.
Menurut Hikmahanto, Guru Besar FHUI dalam RPP ini perlu diperhatikan beberapa aspek mulai dari sertifikasi personil, licensing operator/pengendali Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak, penggunaan Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak sebagai sarana angkutan niaga, serta pengaturan mengenai tanggung jawab yang muncul sebagai akibat dari penyalahgunaannya, mulai dari tanggung jawab pidana, perdata, maupun administratif. Dalam hal ini, pertimbangan-pertimbangan atas aspek keselamatan transportasi, privasi perorangan, serta pertahanan dan keamanan perlu dipertimbangkan.
“Berdasarkan RPP yang telah disusun perlu adanya peraturan turunan seperti manajemen lalu lintas udara, pengaturan ruang udara, tata cara dan prosedur pendaftaran dan registrasi, kriteria standar kalaikudaraan, tata cara, prasyarat, dan prosedur persetujuan rancang bangun, sertifikasi tipe, sertifikasi kelaikudaraan dan kelaikudaraan berkelanjutan, sertifikasi operator hingga sanksi,” pungkasnya.
Pembicara lain yang hadir, Direktur Operasi Sumber Daya, Kemenkominfo, Dwi Handoko membahas mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio untuk pengoperasian pesawat tanpa awak. Sistem pesawat tanpa awak direncanakan akan digunakan pada non-segregated airspace. Selain itu terdapat beberapa jenis frekuensi untuk pesawat tanpa awak seperti frekuensi untuk komunikasi dengan air traffic control, frekuensi radio untuk command and control, frekuensi untuk sense and avoid, frekuensi radio untuk Payload.
“Komunikasi merupakan kunci dari sistem pesawat udara tanpa awak karena dikendalikan secara remote dan safety of fight adalah faktor utama sistem pesawat udara tanpa dalam civil air traffic. Frekuensi yang digunakan haruslah frekuensi yang juga memiliki level yang sama dengan level frekuensi untuk penerbangan,” jelas Dwi.
Dwi menambahkan, pita frekuensi untuk UAS telah dibahas secara internasional sejak tahun 2007 melalui International Telecommunication Union (ITU). Pita frekuensi sistem pesawat udara tanpa awak dikategorikan sebagai pita untuk bergerak penerbangan atau bergerak satelit penerbangan dan termasuk kedalam pita frekuensi keselamatan.
Alokasi frekuensi untuk pesawat udara tanpa awak ditetapkan dalam Sidang Konferensi Komunikasi Radio ITU tahun 2012 adalah 5030-5091 MHz untuk LOS (AM(R)S) dan BLOS (AMS(R)S) dan Pita frekuensi Radio sistem pesawat udara tanpa awak di Indonesia mengikuti alokasi pita frekuensi radio yang ditetapkan oleh ITU.
Dengan dihasilkannya kajian mengenai pengoperasian sistem pesawat udara tanpa awak di Indonesia, diharapkan dapat menjadi sumbangsih positif pagi pembentukan regulasi serta peraturan di kemudian hari terkait dengan pesawat udara tanpa awak di Indonesia.
(TRY/RZD)