Kuliah Umum Prodi Sejarah FIB USU. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Program Studi Ilmu Sejarah USU, menggelar kuliah umum “Historiografi Gerakan Perempuan” dengan menghadirkan dua pembicara, yaitu Ita Fatia Nadia dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia, dan Mutiah Amini salah satu dosen Ilmu Sejarah UGM.
Ketua Program Studi S1 Sejarah FIB USU Dra. Lila Pelita Hati, M.Si mengatakan, kuliah umum ini bertujuan untuk mengajak para generasi muda untuk meningkatkan rasa cinta terhadap sejarah, khususnya pada perjuangan para kaum perempuan.
"Kegiatan ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagaimana peran perempuan dalam sejarah perjuangan kita," ujarnya.
Kegiatan ini sendiri bekerjasama dengan Program S2 Ilmu Sejarah yang diketuai Prof. Pujiati, M. Soc., Sc., Ph.D.
Penggagas acara Prof. Dr. Budi Agustono memandang, perempuan memiliki riwayat sejarah pergerakannya sendiri dalam memerdekakan bangsa Indonesia. Namun sayangnya, sejauh ini kajian-kajian atau penelitian terkait peran perempuan dalam sejarah keindonesiaan kita masih sangat minim.
"Melalui kegiatan ini diharapkan muncul ide-ide untuk mengulas lebih jauh bagaimana peran perempuan dalam sejarah perjuangan kita," ujar mantan Dekan FIB USU ini.
Dra. Ita Fatia Nadia, MA yang dihadirkan sebagai pembicara lebih jauh mengulas tentang penaikan bendera merah putih yang jarang mendapat tempat dalam penulisan sejarah Indonesia, padahal terdapat banyak perempuan dalam peristiwa tersebut. Dan pada peristiwa tersebut terdapat perempuan yang menjadi pengibar bendera, ini menarik karena perempuan menjadi proses kemerdekaan.
"Saya mengutip dari Sheila Rowbotham, seorang sejarawan perempuan menyatakan bahwa “Perempuan adalah penafsir sejarah, dan sebagai penafsir perempuan sering dilupakan dalam sejarah dunia atau sejarah kemanusiaan”. Ketika saya memfokuskan kajian tentang perempuan, ketika saya menulis skripsi saya dibimbing oleh Prof. Kuntowijoyo. Saya juga mengambil kutipan dari Kuntowijoyo “Mengapa perempuan jarang mendapat peran penting dalam penulisan sejarah Indonesia”," ujarnya.
Menurutnya tema sentral erat didominasi oleh militer, politik dan hal tersebut adalah sejarah dengan perspektif maskulin. Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa sejarah yang maskulin mendominasi pemikiran dan historiografi Indonesia. Sejarah perempuan dalam perspektif gender.
Padahal, jelasnya, pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pemimpin nasional laki-laki secara aktif mencari dukungan dari organisasi perempuan. Perhatian terhadap masalah perempuan belum pernah terjadi sebelumnya, pemimpin laki-laki memberikan jaminan hak dan kesetaraan bagi perempuan dalam UUD 1945.
"Setelah Kongres Wanita Nasional di Klaten pada bulan Desember 1945 dan Kongres di Solo tahun 1946. Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dibentuk. KOWANI adalah federasi organisasi perempuan pendukung Kemerdekaan Indonesia," jelasnya.
Ia menjelaskan pada tahun 1950an muncul organisasi perempuan dari Partai Sosialis Indonesia, yaitu Gerakan Wanita Sosialis. Pada awalnya PSI mengandalkan hubungannya dengan gerakan perempuan lewat organisasi Isteri Sedar. Namun untuk kepentingan Pemilihan Umum tahun 1955, PSI merasa perlu membentuk sayap perempuanya sendiri.
Sebagai media untuk memperluas penyebaran ide-ide Gerwani, pada tahun 1955 Gerwani menerbitkan majalah, Wanita Indonesia. Oleh karena kurang begitu maju dan terbitnya tidak teratur, akhirnya pada pertengahan tahun 1956 dihentikan. Setelah itu diterbitkan “Berita Gerwani” yang peredarannya terbatas hanya 2.000 eksemplar.
Sedangkan Dr. Mutia Amini, MA menjelaskan ada banyak nama perempuan yang dihilangkan dalam memori sejarah kita, sehingga ini berdampak pada minimnya penelitian ilmiah. Permasalahan lain, barangkali ketika sumber sejarah perempuan sudah didapatkan kita sejarawan punya masalah dalam memahami tentang perempuan.
"Kita menulis sejarah gerakan perempuan dan sejarah perempuan, sehingga jika kita dapat menyelesaikan problem ini, maka kita dapat terlepas dari hoaks dan problem historiografi sejarah perempuan Indonesia. Banyak sekali narasi sejarah yang masuk ketika media digital dapat berseliweran dengan bebas. Maka apa yang kita baca telah diriset, kita dapat menjelaskan sesuatu ketika sudah melakukan riset secara mendalam," ujarnya.
Berdasarkan riset yang sudah ia lakukan ada pergeseran pola dalam gerakan perempuan. Dalam awal abad 20 di dalam gerakan sosial yang muncul ada satu kesatuan dalam kelompok pelajar, birokrasi, jurnalis, dll. Ada banyak surat kabar yang telah diproduksi oleh perempuan yang mengikat organisasi, birokrasi, jurnalistik, dan kaum terpelajar. Ada afiliasi nama perempuan dengan surat kabar yang beredar pada awal hingga pertengahan abad 20.
"Tetapi dalam kurun waktu yang berbeda, ada perpecahan antara birokasi, organisasi, kaum terpelajar, dan jurnalistik yang seakan-akan hilang terutama setelah kemerdekaan. Hampir tidak ada surat kabar perempuan yang beredar di masyarakat. Pada 1960an itu begitu dihancurkan hingga pada Orde Baru yang tidak dapat bergerak," katanya.
"Kemerdekaan bangsa adalah perjuangan bersama, baik laki-laki maupun perempuan, sayangnya hal ini jarang hadir di dalam historiografi. Hadirnya perempuan dalam birokrasi sekaligus menjadi alat perjuangan untuk memperjuangkan hak perempuan," ujarnya.
(BR)