Pedagang Keluhkan Mahalnya Harga Minyak Goreng

Pedagang Keluhkan Mahalnya Harga Minyak Goreng
Ilustrasi (Pixabay)

Analisadaily.com, Medan – Saat ini banyak pedagang gorengan mengeluh karena harga minyak goreng mahal. Pedagang mengaku merugi karena biaya produksi semakin mahal, sementara menaikkan harga jual di tengah tekanan daya beli masyarakat bukanlah keputusan bijaksana.

Pengamat Ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjamin mengatakan, yang paling mungkin dilakukan pedagang adalah berimprovisasi dengan mengurangi besaran gorengannya. Artinya, gorengan yang dijual berpeluang lebih kecil dari sebelumnya. Atau disiasati dengan mengurangi penggunaan bahan baku yang lainnya.

“Ada banyak alternatif solusi mengakali kenaikan harga minyak goreng. Tetapi solusi menaikkan harga ini mungkin hanya terjadi di beberapa pedagang gorengan yang percaya diri dengan menaikkan harga penjualannya tetap stabil,” kata Gunawan, Selasa (2/11).

Menurut perhitungan Gunawan, kecil sekali kemungkinan pedagang melakukan penyesuaian harga (naik) tersebut. Karena pedagang gorengan ini ada banyak. Sementara masyarakat, belakangan karena pandemi Covid-19 belanjanya mengalami penurunan.

“Artinya daya beli yang terpukul, harga minyak goreng yang mahal tidak bisa disiasati dengan cara menaikkan harga jualnya. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis pedagang itu sendiri,” ujarnya.

Kenaikan harga minyak goreng tentunya bukan hanya berimbas pada pedagang gorengan saja. Pedagang lain, atau masyarakat pada umumnya juga merasakan hal yang sama. Dengan mahalnya harga minyak goreng yang rata-rata di atas Rp 17.000/Kg, kalau pedagang menginginkan keringanan, pemerintah bisa saja mengintervensi untuk meringankan beban pelaku UMKM beserta masyarakat tidak mampu.

“Caranya ada beberapa, tetapi yang paling mungkin bisa direalisasikan segera adalah menjual minyak goreng murah langsung ke pedagang. Atau memberikan bantuan langsung minyak goreng kepada pelaku UMKM yang terdampak kenaikan harga minyak goreng, di mana bantuan juga bisa ditujukan kepada masyarakat kurang mampu,” terang Gunawan.

Untuk teknis penyaluran bantuan sosialnya mungkin mirip dengan bantuan tunai UMKM seperti sebelumnya. Tetapi kalau mengkhususkan agar bantuan minyak goreng diberikan kepada pengusaha gorengan, maka upayanya harus lebih ekstra dibandingkan dengan bantuan UMKM seperti yang sudah sudah.

“Karena saya yakin mayoritas pedagang gorengan itu pasti bisnisnya masuk di level Usaha Kecil Mikro. Jadi bantuan sosial menjadi sarana dalam menanggulangi mahalnya harga minyak goreng tersebut. Konsekuensinya pemerintah terpaksa menambah anggarannya, yang tentunya berpotensi meningkatkan beban hutang pemerintah itu sendiri,” sebutnya.

Di sisi lain, lanjut Gunawan, pemerintah juga bisa mensubtitusi bantuan sosial tersebut. Artinya ada pengalihan bantuan sosial dalam bentuk minyak goreng, namun bantuan sosial bentuk lainnya dikurangi.

“Kalau solusinya ditatanan yang lebih makro, bisa saja pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi yang terbaru, atau memaksa adanya penyerapan CPO lokal dengan porsi yang lebih besar dibandingkan jika CPO banyak diekspor karena harganya naik. Tetapi hal ini juga bukan merupakan kebijakan mudah yang bisa diambil,” tandasnya.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi