Konflik Etnik Menjadi Peran Sentral Formasi Politik di Indonesia

Konflik Etnik Menjadi Peran Sentral Formasi Politik di Indonesia
Ketua Pusat Kajian Kebudayaan dan Etnik Prof. Dr. Budi Agustono (Analisa/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Pusat Kajian Kebudayaan dan Etnis Universitas Sumatera Utara (USU) mengadakan diskusi bertajuk “Peran Asosiasi Warga dalam Pencegahan Konflik Etnik” sebagai upaya menemukan usulan kebijakan dan penyelesaian konflik etnik. Diskusi tersebut digelar melalui zoom meeting, Kamis (09/12).

Ketua Pusat Kajian Kebudayaan dan Etnik Prof. Dr. Budi Agustono mengatakan, persoalan konflik etnik menjadi peran sentral formasi politik di Indonesia, terutama terkait dengan gejolak politik sosial dan ekonomi yang berlangsung akhir tahun 1990-an.

“Ketika misalnya formasi kekuasaan orde baru yang pada waktu itu mengalami keringkihan politik, sehingga di sana-sini terjadi konflik etnik. Terutama di kota satelitik Indonesia, seperti Ambon, Poso, Sambas, Pontianak, dan sebagainya,” ujar Prof. Budi.

Menurut Prof. Budi, ketika terjadi politik juga bersamaan dengan eskalasi yang begitu tinggi, muncul linisasi dan partisipasi masyarakat dalam penyelesaikan konflik. Hal itu direpresentasikan dengan kehadiran asosiasi warga.

“Ini menjadi penting melihat bagaimana warga menginisiasi perdamaian dan penurunan eskalasi konflik,” ujarnya memantik diskusi.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komnas HAM Republik Indonesia Ahmad Taufan Damanik, M.A menyampaikan bahwa benar tidak ada masalah etnisitas lagi di Sumatera Utara. Menurutnya, Medan punya modalitas yang tinggi yaitu prinsip-prinsip egalitarian.

“Saya sangat terkesan dengan panggilan ‘bung’ di Medan pada sekitar tahun 1950. Itu mengindikasikan perkawinan semua etnik, panggilan yang mengikat semua. Tidak saja pengikat antar etnik tapi juga pengikat antar agama dan antar kelas,”jelas Ketua Komnas HAM.

Ahmad Taufan menambahkan, prinsip itu telah terbangun sejak awal. Meskipun Medan merupakan daerah Melayu dengan mayoritas etnis Jawa, tetapi tidak ada kelompok yang mendominasi satu sama lain.

“Semua pihak punya peran yang besar, mencirikan modalitas yang besar,” ujarnya.

Menurut Ahmad, berkembangnya zona ekslusif perlu diminimalisir untuk mencegah konflik etnik, seperti adanya perumahan khusus untuk identitas tertentu.

“Kita perlu perbanyak membangun ruang bersama, Lapangan Merdeka dapat diarahkan menjadi ruang bersama, misalnya dengan mengadakan acara budaya yang dapat diakses oleh semua pihak,” lanjutnya.

Ketua Komnas HAM turut mengapresiasi Pusat Kajian Kebudayaan dan Etnik USU. Ia berharap, pusat kajian ini dapat terlibat dalam pengambilan kebijakan dan penyelesaian masalah.

“Pusat kajian etnik di USU ini bisa tampil menemukan solusi, kita punya sumber daya manusia yang bisa dioptimalkan,” pungkasnya.

(BR)

Baca Juga

Rekomendasi