Kasus Saling Lapor Pemodal dan Direktur Produk Sanitary, Wilson: Saya Berharap Keadilan

Kasus Saling Lapor Pemodal dan Direktur Produk Sanitary, Wilson: Saya Berharap Keadilan
Wilson Joenardi (kiri) bersama pengacaranya Amran Fansori Lubis (Analisadaily/Jafar Wijaya)

Analisadaily.com, Medan - Seorang pengusaha bernama Wilson Joenardi mengaku merasa aneh lantaran dilaporkan oleh Direkturnya berinisial JTH ke polisi. Padahal dalam bisnisnya, Wilson yang berperan sebagai pemodal dalam usaha produk sanitary bravat ini, hanya menerima laporan penjualan dan keuangan yang disusun sendiri oleh JTH.

Wilson menceritakan, awal mula dirinya berhubungan dengan JTH karena dikenalkan oleh seorang temannya untuk membeli produk-produk sanitary bravat. Singkat cerita, setahun kemudian, yakni tahun 2019, oleh JTH dirinya diajak kerja sama.

"Dia (JTH) mengaku bahwasannya merek produk yang dipakai merupakan miliknya, baik secara lisan dan tertulis. Tapi belakangan setelah ditelusuri, diketahui merek itu ternyata milik seseorang yang berada di China," ungkapnya, didampingi pengacaranya dari Kantor Hukum Ansari Bakti SH & Rekan, Amran Fansori Lubis, kepada wartawan saat ditemui di Kantor Hukum Ansari Bakti, Jalan Brigjend Katamso, Rabu (12/1).

Dalam kerja sama ini, Wilson mengaku, dirinya memang hanya percaya saja, sehingga tidak mengecek secara mendalam. Pada awal kerja sama, Wilson memfasilitasi tempat (showroom) dan modal usaha, untuk showroom dari proposal Rp 1.293.790.000 dari yang diajukan oleh JTH yang kemudian membengkak menjadi Rp 2.094.979.309.

Sedangkan untuk belanja Barang Modal sebesar Rp 2.475.922.500. Wilson juga menyediakan showroom 3 unit seharga Rp 600 juta/tahun. Sistem belanja barang modal untuk kerja sama ini adalah uang dikirim secara lunas 100% terlebih dahulu ke Produsen, baru kemudian barangnya dikirim ke Medan.

Selanjutnya, dalam tahap renovasi showroom, JTH juga mengusulkan untuk didirikan badan hukum berbentuk perseroan komanditer (CV) yang menetapkan JTH sebagai Direktur dan Wilson sebagai pemodal/pesero Komanditer. Di mana Direktur bertanggungjawab kepada pemodal dalam memberikan laporan keuangan setiap bulan Desember dan April setiap tahunnya sekaligus membuat neraca dan perhitungan laba/rugi serta pembagian keuntungan.

"Total modal yang saya keluarkan sekitar Rp 5,1 miliar. Sedangkan JTH untuk modal pengadaan barang sebesar Rp 99.778.500 dan pengadaan display sanitary merek bravat ke showroom secara gratis," jelasnya.

Namun, imbuh dia, setelah bisnis berjalan, pada bulan Januari 2021 hubungan di antara mereka pun putus. Awal permasalahan, sebutnya, bukan karena merasa ditipu, tapi Wilson sebagai pemodal ingin mengecek pembukuan.

"Karena harusnya ada tiga laporan diberikan kapada saya. Tapi ketika saya minta laporan tersebut tidak dikeluarkan dengan berbagai alasan. Setelah beberapa kali saya meminta laporan, yang bersangkutan merasa saya tidak mempercayainya lagi kemudian yang bersangkutan JTH meminta untuk putus hubungan kerja," terangnya.

Lalu, pada 19 Januari 2021, Wilson mengatakan ia diundang oleh pengacara JTH untuk melakukan pertemuan terkait masalah ini. Dari pertemuan itu, Wilson akhirnya diberikan laba rugi yang ditandatangani JTH berupa laba usaha sebesar Rp 987.957.557 yang dibulatkan menjadi Rp 987.000.000 dan laba dari stok Rp 810 jt yang diperhitungkan berdasarkan persediaan akhir stock barang dinilai sebesar Rp 4.596.348.499, sesuai Laporan Neraca dan Laba Rugi yang disampaikan sang Direktur.

"Dari pertemuan tanggal 19 Januari 2021 itu disepakati untuk mengakhiri kerjasama. Kemudian dilakukan pembagian, di mana saya menerima kembali seluruh modal awal (beli barang modal) yang saya keluarkan sebesar Rp 2.475.922.500, ditambah pembagian keuntungan usaha CV yang di sampaikan Laporan Keuangan Neraca/Laba Rugi dengan porsi 50-50," terang Wilson.

Sementara itu, pengacara Wilson, Amran Fansori Lubis menjelaskan, selang waktu setelahnya, kliennya melakukan penelitian terkait data pendukung yang diterima dari JTH, sehingga ditemukan beberapa keganjilan, sehingga Wilson merasa ditipu.

Salah satu di antara, diketahui jika Sanitary merek bravat adalah milik orang lain bernama Bravat China GMBH warga negara China sesuai data kekayaan intelektual Kemenkumham tanggal pendaftaran 3 Juni 2008.

"Lalu ternyata barang display ke showroom juga bukan gratis tetapi hasil pembelian Rp 1,166 miliar tanpa bukti pembelian, termasuk perjanjian keuntungan dalam akta pendirian CV dibagi berdasarkan pembagian modal bukannya membagi dua keuntungan 50-50 persen," jelasnya.

Tak hanya itu, tanpa sepengetahuan Wilson, JTH juga mendirikan PT pribadi JTH yakni PT Bravat Indonesia Trading yang berkedudukan di kantor CV mereka di Kompleks Center Poin Business Park Blok D-11, D-12 dan D-15.

"Selain itu juga ditemukan beberapa persoalan lainnya, yaitu adanya penjualan barang CV dimasukkan ke rekening pribadi sang Direktur, sementara CV ada rekening bank,” sebutnya.

Lebih lanjut lagi, sampai hari ini bukti bukti pembayaran atas pembelian barang modal yang uangnya berasal dari saya sebesar Rp 2.475 miliar juga nggak pernah ditunjukkan nya, dan bukti bukti pengeluaran atas biaya renovasi showroom sebesar Rp 2 miliar lebih juga tidak pernah dikasihkan ke Wilson selaku Pemodal.

"Dan yang hebatnya lagi, laporan keuangan dalam bentuk neraca dan laba rugi yang diserahkannya kepada saya selaku pemodal pada tanggal 19 Januari 2021 yang diakui sudah benar dan dibubuhi tanda tangannya pada saat itu, sekarang dibilangnya belum valid, padahal usaha ini dikelolanya sejak 2019 hingga Januari 2021, padahal pembukuan disusun memakai jasa Programmer Sofware Akuntansi yang dibuat oleh saudara E yang diketahui jasanya juga dipakai oleh salah satu perusahaan F&B yang berkembang di Medan, tetapi kemudian sang direktur menyatakan programnya salah dan menghadirkan saudari J dengan pembukuan baru yang dibuat saudari J maka Wilson Joenardi ditaksir mengalami kerugian Rp 3.690.881.490," ujar Amran.

Tak sampai di situ, sambung Amran, kliennya juga tiga kali mendapatkan somasi dari kuasa hukum JTH yang isinya Wilson harus mengembalikan keuntungan stok barang dan harus membayar hutang biaya renovasi showroom. Karenanya, Wilson melalui Amran, SH selaku kuasa hukum pun melaporkan JTH ke Polda Sumut dengan LP/B/1067/VI/2021/SPKT/Polda Sumatera Utara tanggal 28 Juni 2021.

"Namun karena klien saya tidak mengembalikan uang yang tidak ada dasar logikanya yang diminta sebesar Rp 410.784.999 dan membayar renovasi terhutang Rp 722.882.847 dimana tidak pernah ada data data pendukungnya, maka JTH melaporkan klien saya ke Polrestabes Medan dengan LP/B/1336/VII/2021/SPKT/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMUT tanggal 3 Juli 2021," pungkasnya.

Oleh karena itu, melalui ini, Wilson berharap agar dirinya mendapatkan keadilan. Sebab menurutnya, dari kasus yang dialaminya, dirinya sebetulnya adalah korban.

"Harapan saya, saya mendapatkan keadilan," pinta Wilson.

(JW/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi