Soal Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Ini Temuan LPSK

Soal Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Ini Temuan LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Edwin Partogi Pasaribu, memberikan keterangan usai memaparkan hasil temuan mereka soal kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sabtu (29/1) (Analisadaily/Christison Sondang Pane)

Analisadaily.com, Medan - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI) menyampaikan sejumlah temuan mereka terkait kerangkeng manusia di Rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Peranginangin di Stabat, Sumatera Utara.

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, temuan ini diperoleh setelah melakukan kunjungan ke lokasi, termasuk ke pabrik pengolahan kelapa sawit pada Kamis dan Jumat kemarin. Mereka menemukan beberapa orang yang pernah ditahan di kerangkeng itu bukan pecandu narkoba, ada yang lain.

"Kerangkeng atau rutan ilegal itu juga tidak sesuai Standard International for the of Drugs Use Disorder," kata Edwin saat memaparkan temuan mereka kepada awak media di Gedung Keuangan Negara di Jalan Diponegoro, Sabtu (29/1).

Bila merujuk Standar International UNODC-WHO untuk Pengobatan Gangguan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif (Napza) terdapat prinsip, yaitu pengobatan/perawatan harus tersedia, dapat diakses dan menarik.

Kemudian, jaminan standar etik pelayanan pengobatan, harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), tidak menggunakan tindakan yang merendahkan/mempermalukan, perawatan kepada korban harus didasarkan pada bukti ilmiah.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Edwin Partogi Pasaribu, menampilkan lokasi pabrik pengolahan sawit diduga milik Bupati Langkat saat paparan kasus kerangkeng manusia, Sabtu (29/1).
Mereka juga mendapat informasi, bahwa masyarakat pernah membantu tahanan yang berada di kerangkeng untuk merusak jeruji agar bisa keluar. Tidak itu saja, lebih dalam Edwin memaparkan, terdapat dokumen yang harus ditandatangani keluarga, penanggung jawab dan saksi yang menyerahkan korban ke tempat itu.

Di dalam surat disebutkan, keluarga tidak akan pernah memohon atau meminta mengeluarkan anaknya sebelum 1.5 tahun, kecuali ada instruksi dari pembina dan apabila ada sesuatu yang terjadi, seperti sakit atau meninggal dunia, maka tidak akan menuntut pembina dari segi apa pun.

“Selanjutnya, ada dokumen pembayaran yang dilakukan terkait penahanan dan catatan kunjungan dokter terhadap para tahanan dari tahun 2016 sampai 2019,” ucap Erwin sembari menunjukkan dokumen tersebut.

Bukan hanya itu, masih kata dia, para tahanan kehilangan kebebasan, dieksploitasi, karena dipekerjakan di pabrik sawit dan tanpa memperoleh gaji. Durasi mereka di dalam tahanan itu cukup lama atau beragam, ada 1.5 tahun, tapi bisa juga lebih dari itu.

“Bisa mencapai empat tahun. Informasi lainnya, mereka dibatasi aksesnya bertemu keluarga dalam kurun waktu tertentu, misalnya enam bulan pertama tidak boleh dikunjung. Tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarga melalui sambungan handphone,” tutur Edwin.

Dalam hal melaksanakan ibadah, kata Edwin, hal itu juga dibatasi, walau pun mereka menemukan sajadah dan buku di lokasi kerangkeng itu.

“Mereka tidak boleh salat Jumat dan salat Idul Fitri di luar. Demikian juga dengan non muslim, tidak boleh ke gereja pada hari Natal atau pun Misa. Jadi ada akses-akses yang dibatasi, melampaui aktivitas yang ada di Rutan atau Lapas milik negara. Menurut kami itu ganjil dan patut diperhatikan Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Polda Sumatera Utara untuk didalami,” tambah Edwin.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Edwin Partogi Pasaribu, menujukkan dokumen yang mereka dapatkan di lokasi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sabtu (29/1).
Atas dasar itu, LPSK memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya Pelaksana Tugas Bupati Langkat menertibkan fasilitas rutan ilegal tersebut, Dinas Sosial, Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi atau Kabupaten untuk secara aktif sosialisasi dan memfasilitasi para pecandu narkotika direhabilitasi dengan fasilitas gratis.

“Kami juga meminta Menteri Dalam Negeri agar memastikan tidak ada kepala daerah lainnya yang melakukan perbuatan serupa. Perlu dilakukan rehabilitasi psikologis kepada para mantan tahanan,” pinta Edwin.

Dia menambahkan, penyidik perlu mendalami dugaan terjadinya penganiayaan, perampasan kemerdekaan dan perdagangan orang serta pembiaran terjadinya tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terbit Rencana Peranginangin.

Sebelumnya, Migran Care menemukan kerangkeng di belakang kediaman Bupati Langkat Terbit Perangin Angin yang di dalamnya terdapat 40 orang pekerja yang ditahan di dalam jeruji besi pribadi tersebut.

Menurut dugaan temuan Migran Care, para pekerja diduga tidak mendapatkan perlakuan baik, seperti tidak mendapat makanan layak saji, tidak mendapatkan upah gaji yang sesuai atau bahkan tidak digaji, perlakuan penganiayaan, dan penyiksaan kepada para tahanan pekerja sawit itu.

Dalam perkembangannya, Polda Sumatera Utara telah memeriksa 11 orang terkait temuan tempat binaan di kediaman mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin yang diduga menjadi tempat perbudakan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, menyebutkan pemeriksaan tersebut untuk meminta keterangan sejumlah pihak yang ditemui di lokasi tempat pembinaan tersebut.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, tim sempat melihat kerangkeng di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin, saat melakukan operasi tangkap tangan (OTT)

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Edwin Partogi Pasaribu, memaparkan poin-poin rekomendasi terkait kerangkeng di rumah Bupati Langkat, saat pemaparan kasus di GKN II, Medan, Sabtu (29/1).
"Penyelidik KPK memang menemukan sebanyak dua ruangan yang terlihat seperti ruang berkerangkeng di area dalam pagar rumah Bupati Langkat," kata Ghufron, Selasa (25/1).

"Karena pada saat itu, tim KPK ke rumah tersebut untuk mencari bupati yang ternyata sudah tidak di tempat. KPK kemudian hanya mendokumentasikan karena harus melanjutkan pencarian yang bersangkutan pada saat itu," kata Ghufron.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi