Analisadaily.com, Medan - Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Mahmul Siregar, mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia mewujudkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura.
Perjanjian ekstadisi itu diharapkan menguatkan penegakan hukum yang bersifat lintas negara seperti korupsi, pencucian uang, kejahatan narkotika, terorisme dan pendanaan terorisme.
“Ekstradisi antara Indonesia-Singapura ini tentunya memberi manfaat untuk Indonesia, salah satunya adalah apabila terjadi kejahatan transnasional, lintas negara,” kata Mahmul, di Medan, Jumat (4/2).
Mahmul menyampaikan hal itu usai menghadiri Orasi Ilmiah Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly dalam rangka Dies Natalis ke-68 Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Usai menyampaikan Orasi Ilmiahnya, Yasonna menyatakan bahwa perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan mempersempit ruang pelarian pelaku kejahatan di Indonesia, dan proses ratifikasinya terus dikomunikasikan dengan DPR RI.
Mahmul mengungkapkan, dengan adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, maka aparat penegak hukum di Indonesia dapat lebih mudah menangkap dan membawa pelaku kejahatan di Indonesia yang bersembunyi di Singapura untuk dibawa dan diadili di Indonesia.
“Dengan adanya perjanjian ekstradisi ini maka kejahatan lintas negara bisa kita proses dengan mudah, artinya para pelaku kejahatan lintas negara seperti korupsi, terorisme, pendanaan terorisme, pencucian uang, kejahatan narkotika dan lain-lain, itu mereka enggak bisa lagi bersembunyi di Singapura dengan adanya perjanjian ekstradisi ini,” ujar Mahmul.
Selanjutnya, kata Mahmul, proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura harus segera dilakukan pemeritah dan DPR RI agar perjanjian ekstradisi yang berlaku surut 18 tahun itu dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
“Perjanjian ekstradisi ini satu langkah yang positif dan maju bagi pemerintah kita untuk penegakan hukum di Indonesia. Selanjutnya adalah ratifikasi agar penegakan hukum secara timbal balik antara Singapura dan Indonesia bisa dilaksanakan,” ungkap Mahmul.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam serta disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1).
Perjanjian Ekstradisi itu ditandatangani bersamaan dengan Perjanjian Flight Information Region (FIR) dan Defense Cooperation Agreement (DCA).
Perjanjian Ekstradisi pada pokoknya adalah perjanjian yang mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.
Bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga diatur dalam perjanjian tersebut. Sesuai hasil kesepakatan, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.
Tidak hanya itu, perjanjian ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak, sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.
Selain itu, dengan memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.
(RZD)