Jurnalis Alami Intimidasi Saat Liputan di Desa Wadas

Jurnalis Alami Intimidasi Saat Liputan di Desa Wadas
Ilustrasi (Pixabay/Geralt)

Analisadaily.com, Wadas – Intimidasi terhadap jurnalis saat meliput di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawat Tengah, kembali terjadi.

Koresponden Tempo, yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani, mengalami intimidasi oleh dua orang yang tidak dikenali identitasnya saat mewawancarai dua warga Wadas yang tanahnya setuju diukur untuk penambangan batu andesit, Kamis (10/2).

Berdasar kronologi yang disusun Shinta, Jumat (11/2), intimidasi terjadi ketika dia sedang mewawancara warga pendukung tambang batu andesit di halaman masjid Dusun Winong, Desa Wadas pukul 13.30 WIB.

Wawancara dilakukan untuk memenuhi penugasan Majalah Tempo dan Koran Tempo tentang laporan konflik rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.

Saat itu tengah berlangsung pertemuan warga pro penambangan dengan Anggota Komisi Hukum DPR yang berkunjung. Usai pertemuan, Shinta mewawancara dua warga yang setuju lahannya diukur Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk penambangan batuan andesit.

“Saya bertanya seputar sosialisasi harga tanah yang dijual warga, alasan warga setuju dengan penambangan, dan ganti rugi lahan yang dibebaskan,” kata Shinta dalam siaran persnya.

Tiba-tiba, dia lanjut menceritakan, seorang lelaki dan perempuan duduk di kursi dan ikut mendengarkan memotong proses wawancara. Perempuan itu menanyakan asal Shinta bekerja. Setelah mengetahui Shinta adalah jurnalis Tempo, perempuan warga itu marah dan menyanggah pertanyaan Shinta.

Dia menuduh Tempo memproduksi berita bohong tentang konflik Wadas. Sedangkan yang laki-laki menyebut berkali-kali, berita Tempo hoaks. Dia menudingkan jari telunjuknya ke arah wajah Shinta sekitar satu meter. Meskipun dua orang tersebut tidak bisa menunjukkan berita bohong yang dimaksud, keduanya tetap marah-marah.

Pelabelan hoaks terhadap berita yang disusun jurnalis dan diterbitkan media massa tanpa bukti adalah tudingan sepihak. Tindakan itu serupa dengan upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik dan mengancam kebebasan pers yang dilindungi Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.

Sebelumnya, Rabu (8/2), jurnalis Sorot.co sempat dipaksa diduga aparat polisi tak berseragam untuk menghapus rekaman video tentang aksi dugaan kekerasan polisi terhadap warga yang diambilnya dalam proses peliputan.

Padahal, dia sudah menunjukkan ID Pers dan seragam bertuliskan PWI. Dia dan beberapa rekan jurnalis lain sedang meliput kedatangan aparat polisi ke Wadas dengan dalih mengawal petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengukur tanah yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener.

Aparat kepolisian di Wadas diketahui melakukan sejumlah tindak kekerasan terhadap warga, termasuk pemukulan dan penangkapan 67 orang.

Shinta mengatakan, tindakan intimidasi dan memaksa jurnalis menghapus rekaman video hasil liputannya merupakan tindakan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi undang-undang.

Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Atas tindakan intimidatif yang dilakukan para pihak terhadap para jurnalis yang meliput konflik Wadas, maka koaliasi dari AJI Yogyakarta, AJI Semarang, AJI Purwokerto, dan LBH Pers Yogyakarta, mengecam segala bentuk intimidasi yang dilakukan oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun terhadap jurnalis ketika bertugas.

“Mengimbau kepada semua pihak untuk menghargai kerja-kerja jurnalistik dan menghormati kebebasan pers di Indonesia. Sebab, jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum sesuai Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” ujar Shinta.

Kemudian, memberikan pernyataan atau pelabelan pemberitaan media massa sebagai hoaks secara serampangan dan tanpa bukti merupakan bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan melanggar Pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Lalu, pemberian stempel hoaks atau berita bohong terhadap pemberitaan yang sudah melalui proses peliputan yang benar dan taat kode etik jurnalistik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis yang bekerja secara profesional.

“Bagi publik atau siapapun yang menilai pemberitaan media massa tidak akurat atau ada kekeliruan dapat menempuh mekanisme yang diatur UU Pers, yaitu menyampaikan hak jawab atau pelaporan kepada Dewan Pers. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 ayat 1 UU Pers),” tegas Shinta.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi