Permendikbud Tentang Kekerasan Seksual Dinilai Sudah Tepat

Permendikbud Tentang Kekerasan Seksual Dinilai Sudah Tepat
Pendiri Perempuan Hari Ini, Lusty Ro Manna Malau (bawah), memaparkan materinya dalam webinar ‘Kenali Serta Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi’ pada Sabtu (12/3) kemarin. (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara (USU) melaksanakan webinar dengan tema ‘Kenali Serta Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi’ pada Sabtu (12/3) kemarin.

Dalam kegiatan yang digelar menggunakan media Zoom cloud meetings ini, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, DR. Drs. Kintoko Rochadi, MKM dan Pendiri Perempuan Hari Ini, Lusty Ro Manna Malau, hadir sebagai narasumber.

Mengawali diskusinya, Kintoko, mengatakan peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30, tentang kekerasan seksual di Perguruan Tinggi dibuat agar ada regulasi yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan kampus.

“Tujuannya ditekankan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, keluarnya peraturan ini menjadi kontroversi dan perdebatan terutama pada pasal 5 yang adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’,” kata Kintoko dalam webinar yang diikuti 100-an peserta itu.

Dia lanjut menjelaskan, beberapa pihak menganggap frasa tersebut sebagai bentuk legalisasi zinah atau seks bebas di lingkungan perguruan tinggi. Padahal, maksud dari frasa itu adalah untuk menjaga privasi dan hak individu korban, bukan untuk melegalkan perzinahan di Perguruan Tinggi.

Kata Kintoko, privasi dan hak individu tersebut tidak dapat diukur dampaknya dari pihak lain di luar korban. Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ ini disebut Consent. Consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Consent hanya bisa diberikan oleh seseorang yang dinyatakan sudah dewasa dan memiliki kapasitas.

“Consent hanya dilakukan dalam kondisi sehat jasmani dan dalam kesadaran penuh dan hanya dapat diberikan jika seseorang benar-benar memahami berbagai risiko dari situasi yang sedang dihadapinya. Sehingga Consent dapat berguna memagari calon korban dari tindakan hubungan seksual,” paparnya.

Peserta mengikuti webinar ‘Kenali Serta Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi’ yang dilaksanakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara (USU), Sabtu (12/3)
Berikut pasal 5 yang menuai kontroversi: (1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. (2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.

Kemudian b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;

Senada dengan Kintoko, Lusty, menyampaikan bagaimana setiap orang memperlakukan korban dan penyintas dari kekerasan seksual. Permendikbud yang dikeluarkan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim adalah privilege yang digunakan dengan tepat.

Lebih dalam dia menjelaskan, catatan tahun Komnas perempuan, dari 51 kasus yang dilaporkan selama 2015-2020, terlihat perguruan tinggi menempati urutan pertama sebesar 27 persen kekerasan seksual. Bentuk kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual dengan 45 kasus atau 88 persen yang terjadi dari pemerkosaan dan pelecehan dan pelecehan seksual di ikuti oleh kekerasan psikologis dan diskriminasi.

Menurut Lusty, kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi diantaranya pemerkosaan atau percobaan perkosaan, intimidasi atas serangan bernuansa seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, pelaksanaan pernikahan, perdagangan perempuan demi tujuan seksual kontrol kata represif terhadap cara perempuan berpakaian.

“Kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es. Terlihat dan tercatat tidak seperti kenyataannya. Korban takut berbicara karena trauma dan kekhawatiran akan pandangan stigma sosial dan proses hukum setelah korban rampung melapor. Hanya terlihat sedikit dari atasnya saja padahal kasus-kasus dari kekerasan seksual yang begitu banyak terjadi di sekitar kita,” ucap Lusty.

Masih kata Lusty, selain itu kasus kekerasan seksual ini juga diartikan seperti fenomena Spill the Tea yang merujuk pada maraknya korban dan penyintas menggunakan media sosial sebagai wadah berbagi dan bercerita atas apa yang dialaminya.

“Oleh karena itu, ada beberapa cara bagaimana kita menempatkan diri untuk mendukung korban dan penyintas kekerasan seksual, yaitu pahami bahwa setiap korban memiliki pengalaman yang berbeda, dengarkan dan percaya pada mereka, gunakan kalimat sportif dan jangan desak korban untuk bertindak di bawah tekanan,” tambah Lusty.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi