Mengenal Persekot Upah, Cikal-Bakal Pemberian THR

Mengenal Persekot Upah, Cikal-Bakal Pemberian THR
Wardika Aryandi. (Analisadaily/Istimewa)

PERSEKOT atau uang panjar atau uang muka atau yang kerap diistilahkan sebagai down payment (DP) merupakan salah satu konsep pembayaran yang lumrah diterapkan dalam suatu transaksi jual-beli di Indonesia. Biasanya konsep persekot diterapkan masyarakat dalam transaksi jual-beli tanah, bangunan, dan barang berharga tertentu.

Dapat dikatakan, persekot adalah bentuk keringanan pembayaran yang diterapkan atas dasar kesepakatan antara penjual dan pembeli atau antara debitur dengan kreditur. Pemberian persekot biasanya lebih mengutamakan azas kepercayaan. Namun tetap saja konsep pembayaran seperti ini disertai dengan jaminan atau boro (borg).

Menariknya, konsep persekot juga diterapkan dalam pembayaran jasa atau upah kerja. Pemberian persekot umumnya dilakukan atas permintaan penerima upah atau karena tuntutan situasional tertentu. Nantinya persekot yang telah dibayarkan akan diganti melalui sistem pemotongan upah secara berkala. Dalam hal ini, upah kerja atau gaji akan dipotong setiap bulan.

Namun tahukah anda, jika persekot upah adalah cikal-bakal munculnya istilah tunjangan hari raya (THR) keagamaan di Indonesia. Persekot uoah yang awalnya diterapkan pada sektor pekerjaan kasar dan industri, justru beralih ke sektor adminitrasi dan pemerintahan. Perlahan tapi pasti, sistem persekot menjadi solusi permasalahan keuangan yang dihadapi pekerja swasta dan pegawai pemerintah guna menutupi berbagai kebutuhan pada situasi tertentu, seperti hari besar keagamaan.

Di masa Kolonial Belanda, pemberian persekot menjelang perayaan hari besar keagamaan, khususnya Lebaran, sama sekali tidak dikenal. Bahkan tidak ada regulasi khusus dari pemerintah yang mengatur pemberian tunjangan khusus atau pendapatan tambahan menjelang hari besar keagamaan bagi pekerja.

Meskipun tidak ada aturan baku, namun sistem persekot upah nyatanya pernah diterapkan beberapa perusahaan (onderneming) di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, pekerja pelabuhan di Batavia (Jakarta) dan Semarang pernah diberikan persekot atau pinjaman uang dalam rangka hari besar keagamaan, terutama Hari Raya Idulfitri atau Lebaran.

Surat Kabar Sin Po, edisi 16 Februari 1919 melaporkan, buruh yang mengajukan persekot terlebih dahulu harus menyepakati jaminan. Pengajuan persekot biasanya dilakukan melalui pimpinan kelompok pekerja atau mandor (mandoer). Dari situ mandor kecil akan mengajukan permohonan kepada pimpinan kelompok pekerja yang lebih tinggi atau mandor besar (groote mandoer) dan diteruskan ke perusahaan. Jangka waktu pengajuan persekot biasanya dilakukan tiga bulan sebelum Lebaran (Razif, 2013).

Namun setelah persekot dicairkan pihak perusahaan melalui mandor besar, maka mereka akan memberikan uang itu dengan cara memotong upah pekerja di bulan-bulan mendatang. Menariknya, pekerja justru akan memberikan imbalan uang kepada mandor kecil, demi menjamin agar persekot dapat terus dicairkan pada periode-periode berikutnya.

Pada fase awal kemerdekaan Indonesia, pemberian persekot upah kepada pekerja masih tetap berlanjut. Hanya saja tidak semua perusahaan menerapkan aturan ini. Sebab pemberian persekot hanya akan direalisasikan jika perusahaan dan pekerja telah terlebih dahulu menjalin kesepakatan.

Di tahun 1951, untuk pertama kalinya Pemerintah Indonesia memberikan persekot kepada para pamong praja atau yang kini dikenal sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Kebijakan ini dipelopori oleh Perdana Menteri Indonesia ke-6, Soekiman Wirjosandjojo (26 April 1951 - 1 April 1952). Soekiman dikenal sebagai politikus Partai Masyumi.

Saat itu, pemberian persekot kepada para pamong praja lebih bersifat kebijakan politis. Walaupun sebenarnya kebijakan ini bertujuan baik, terutama dalam membantu program peningkatan kesejahteraan pamong praja, namun Perdana Menteri, Soekiman Wirjosandjojo, dan Wakil Perdana Menteri, Soewirjo, tetap berharap, pemberian persekot akan memperkuat dukungan para abdi negara terhadap kabinet dan pelaksanaan program pemerintah pada saat itu.

Hampir sama dengan konsep persekot jasa terhadap buruh dan pekerja di sektor industri, pemberian persekot bagi pamong praja kala itu juga menerapkan sistem "pinjaman di muka". Uang persekot yang diterima nantinya akan dibayar atau dikembalikan lagi ke negara melalui mekanisme pemotongan gaji setiap bulan. Besaran persekot saat itu berkisar Rp 125 hingga Rp 200,-.

Pada 13 Februari 1952 terjadi aksi mogok kerja para buruh dan pekerja di sektor swasta dalam upaya menuntut keadilan pemberian persekot hari besar keagamaan. Pasalnya, para buruh dan pekerja industri menilai persekot bukan hanya hak para pamong praja tetapi juga hak pekerja swasta. Bahkan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) terus menyuarakan tuntutan pemberian persekot bagi buruh dan pekerja swasta, meskipun hal itu tidak terlalu digubris oleh pemerintah.

Setelah Kabinet Soekiman-Soewirjo berakhir, di masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia, Ali Sastroamidjojo, Pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan persekot hari besar keagamaan. Keputusan ini diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.

Sesuai peraturan ini, persekot hari raya yang diberikan kepada pegawai negeri besarannya mencapai setengah dari penghasilan bersih sesuai gaji di bulan terakhir. Dalam hal ini, pengajuan persekot diusukan minimal satu bulan sebelum hari raya dan dicairkan minimal 20 hari sebelum hari raya.

Walaupun sebenarnya persekot bagi pegawai negeri tidak cuma-cuma diberikan, karena berbentuk pinjaman, namun keputusan tersebut membuat para buruh dan pekerja swasta semakin gencar melakukan aksi mogok kerja. Hal ini pada dasarnya dipicu tekanan ekonomi yang sangat besar di era 1950-an. Bukan hanya persoalan upah yang rendah, tetapi juga terkait kenaikan harga 19 bahan pokok secara signifikan, khususnya di Jakarta (Hawkins, 1962).

Di sisi lain, aksi mogok kerja para buruh dan pekerja swasta juga berimbas pada stabilitas ekonomi akibat terhambatnya proses produksi dan distribusi logistik. Untuk meredam pergolakan ini, Menteri Perburuhan Indonesia saat itu, SM Abidin (1953-1955), mengeluarkan Surat Edaran Nomor. 3676 Tahun 1954 mengenai Hadiah Lebaran.

Akan tetapi kekuatan hukum yang menjamin buruh dan pekerja swasta "bahagia" saat hari raya, justru tidak dapat mengikat para pengusaha. Sebab hadiah Lebaran yang jumlahnya saperduabelas dari upah, atau antara Rp 50,- hingga Rp 300,- hanya bersifat sukarela dan dapat diberikan tidak hanya dalam bentuk uang tetapi juga berupa bahan kebutuhan pokok.

Menariknya, pemberian persekot dan hadiah Lebaran masih terus mengemuka di masa Demokrasi Liberal. Tercatat, Pemerintah sempat mengeluarkan sejumlah surat edaran tentang imbauan pemberian persekot dan tunjangan hari besar keagamaan pada rentang tahun 1955 hingga 1958. Akan tetapi karena hanya bersifat imbauan dan bukan suatu kewajiban, seluruh surat edaran ini pun belum mampu menjamin pemenuhan hak bagi buruh dan pekerja swasta.

Tuntutan buruh dan pekerja swasta terkait persekot dan tunjangan hari besar keagamaan mulai mendapat respon dari Pemerintah ketika Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin. Hal ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Perburuhan Nomor: 1 Tahun 1961 oleh Menteri Perburuhan di masa itu, Ahem Erningpraja (1960-1962).

Regulasi ini menegaskan keharusan perusahaan memberikan tunjangan hari besar keagamaan untuk para buruh. Meskipun besaran tunjangan saat itu belum mencapai sebulan gaji kotor, namun ini sifatnya wajib dibayarkan kepada buruh, yang setidaknya telah bekerja minimal selama tiga bulan (Suromenggolo, 2015). Peraturan ini bahkan masih tetap berlaku hingga masa Orde Baru.

Kondisi lebih baik setidaknya dialami PNS. Sebab sejak tahun 1969 di era Presiden Soeharto, PNS telah menerima gaji ke-13. Gaji ke-13 merupakan tambahan penghasilan di luar gaji yang diterima dalam 12 bulan setiap tahun. Jumlahnya sama dengan penghasilan yang diterima PNS setiap bulan, karena menggabungkan gaji pokok, tunjangan kinerja dan tunjangan melekat (tunjangan istri dan anak).

Selain gaji ke-13, tambahan gaji yang diberikan kepada para abdi negara juga mencakup gaji ke-14 sebagai pengganti hadiah Lebaran. Meskipun demikian, gaji ke-13 tidak konsisten diberikan setiap tahun, karena mempertimbangkan kondisi keuangan negara. Tercatat, gaji ke-13 hanya diberikan untuk PNS pada tahun 1979 dan tahun 1983. Sementara pada tahun 1980 hingga tahun 1982, gaji ke-13 tidak diberikan dengan alasan pemerintah telah memberikan tunjangan perbaikan penghasilan.

Pada tahun 1994, istilah Tunjangan Hari Raya atau THR bagi pekerja swasta resmi diperkenalkan Pemerintah, termasuk aturan mengenai skema pemberiannya. Keputusan ini sendiri tertuang pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.

Dalam regulasi ini, Abdul Latief, selaku Menteri Tenaga Kerja saat itu, mewajibkan pengusaha memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan atau lebih, termasuk aturan mengenai besaran THR yang diberikan kepada para buruh dan pekerja swasta.

Sesuai uraian dalam Pasal 3 Ayat (1a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 4 Tahun 1994, disebutkan bahwa pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih mendapatkan THR sebesar satu bulan upah. Sementara, besaran THR untuk pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan tetapi kurang dari satu tahun, diatur pada Pasal 3 Ayat (1b). Dalam hal ini, besaran THR diberikan secara proporsional sesuai masa kerja, yakni masa kerja dibagi 12 yang kemudian dikalikan satu bulan upah.

Menariknya lagi, Pemerintah saat itu juga mengatur mengenai solusi bagi perusahaan yang tidak sanggup membayarkan THR. Hal ini diatur melalui Pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 4 Tahun 1994, yang berisi tiga poin utama.

Poin pertama, pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu memberikan THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Poin kedua, pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) atau poin pertama, harus diajukan paling lambat dua bulan sebelum hari raya keagamaan yang terdekat.

Sedangkan poin ketiga, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.

Secara umum, kebijakan ini menjadi cikal bakal pengaturan THR di Indonesia. Walaupun begitu, pada awal pelaksanaannya, pemberian THR justru belum menyentuh seluruh elemen pekerja swasta saat itu, terutama mengenai aturan pemberian THR bagi pekerja yang baru masuk dengan masa kerja di bawah tiga bulan dan pekerja yang berstatus kontrak.

Sebaliknya, pemberian gaji ke-13 bagi PNS kembali dilanjutkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam pidato kenegaraannya pada Agustus 2003, Megawati menyatakan pemberian gaji ke-13 bagi PNS sekaligus tunjangan hari raya. Hal ini pun sebagai kompensasi tidak adanya kebijakan kenaikan gaji PNS pada tahun 2004. Gaji ke-13 ini sendiri diberikan pada bulan Juni dan Juli. Sehingga PNS mendapatkan penghasilan dua kali lipat ketimbang bulan-bulan reguler lainnya.

Meskipun demikian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemberian gaji ke-13 bagi PNS hanya dicairkan pada 2006 atau hanya sekali dalam 10 tahun masa kepemimpinannya. Kebijakan ini diberlakukan mengingat di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah setiap tahunnya menaikkan gaji PNS.

Pada tahun 2016, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Menteri Ketenagakerjaan saat itu, M Hanif Dhakiri, menyempurnakan aturan mengenai pemberian THR bagi pekerja swasta. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor: 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Beberapa aturan yang disempurnakan antara lain mengenai kewajiban perusahaan memberikan THR bagi pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan, pegawai kontrak, serta pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) ataupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Regulasi ini juga mengatur waktu minimal pemberian THR bagi pekerja, yakni tujuh hari sebelum hari raya keagamaan

Besaran THR yang diterima pekerja akan ditentukan berdasarkan masa kerja yang telah dilalui di sebuah perusahaan. Bagi yang sudah memiliki masa kerja minimal 12 bulan atau lebih secara berturut-turut, maka akan memperoleh THR sebesar upah atau gaji satu bulan yang terakhir diterima. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja di bawah itu akan menerima THR, dengan nilai atau besaran bersifat proporsional.

Jika terlambat menunaikan kewajiban memberikan THR bagi pekerja atau tidak sama sekali, maka perusahaan akan diberikan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaaan Nomor: 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif, dan Peraturan Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Menariknya, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, THR dan gaji ke-13 bagi ASN atau PNS dan para pensiunan justru diberikan sekaligus. Dalam hal ini, besaran THR dan gaji ke-13 yang diterima ASN dan penisunan sama dengan besaran gaji pokok atau gaji pensiun pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji pokok atau gaji pensiun pokok, termasuk tambahan 50 persen tunjangan kinerja perbulan bagi ASN penerima tunjangan kinerja.

Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 2022 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2022 (www.kemenkeu.go.id).

Pemerintah menyatakan, pemberian gaji ke-13 dan THR bagi ASN dan pensiunan merupakan wujud penghargaan atas kontribusi dan pengabdian aparatur negara dan daerah, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan, dalam kaitannya dengan penanganan pandemi Covid-19, serta pelaksanakan program dan pelayanan masyarakat.

Selain itu, pemberian THR dan gaji ke-13 bagi ASN dan pensiunan di tahun 2022 diharapkan pula menjadi bantalan ekonomi masyarakat akibat dampak keterpurukan ekonomi global selama pandemi Covid-19, demi meningkatkan daya beli dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah FIB USU.

Berita kiriman dari: Wardika Aryandi

Baca Juga

Rekomendasi