Terlihat banyak bibit mangrove yang mati di Kelurahan Kampung Masjid, Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumut, Senin (9/5) (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Labura - Masyarakat di Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) mempertanyakan penanaman bibit mangrove program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang jumlahnya ratusan ribu batang di lahan seluas puluhan hektare di tiga daerah tak sesuai harapan.
Mereka menilai, kegiatan tersebut diduga terindikasi korupsi karena faktanya bibit mangrove tersebut kini dalam kondisi tak terawat.
Salah satu daerah di Sumatera Utara yang mendapat kesempatan dalam program Rehabilitasi Restorasi Gambut dan Mangrove di Kabupaten Labuhanbatu Utara terdiri dari tiga desa, yaitu Desa Sei Apung, Desa Teluk Piai, dan Kelurahan Kampung Masjid, Kecamatan Kualuh Hilir.
Berdasarkan pantauan pada Senin (9/5) sore, salah satu lokasi di Kampung Masjid, terlihat bibit-bibit mangrove yang sempat di tanam oleh Kelompok Tani Hutan yang diketuai Syafri Azwar Sagala pada Agustus 2021 lalu, kini kondisinya terlihat dalam kondisi porak-poranda.
Tidak hanya itu, di lokasi lainnya seperti di Desa Sei Apung dan Desa Teluk Piai kondisi bahkan lebih parah dan nyaris tak terlihat adanya bibit-bibit mangrove yang tumbuh di pinggir laut, alias lepas dari pengawasan dan perhatian baik dari instansi pihak kementerian maupun kelompok tani yang bertanggung jawab.
Padahal, Kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) Tahun 2020 yang merupakan agenda pemerintah menggunakan APBN ini adalah untuk Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) dalam rangka pemulihan ekonomi masyarakat di tengah badai pandemi Covid-19.
Ironisnya, bukannya serius melakukan penanaman seusai aturan dan ketentuan serta anggaran yang sudah ditetapkan, warga berinisial FH menyebutkan kegiatan penanaman tersebut diduga terindikasi korupsi dalam pengerjaannya.
Ia menyebutkan, kegiatan penanaman bibit mangrove tersebut terkesan semrawut. Bahkan diketahui tidak sesuai dengan jumlah bibit dan luas lahan yang ditentukan.
Hal senada juga disampaikan warga lainnya berinisial AR yang menyebutkan, sangat jelas lahan yang seharusnya di tanami mangrove sekitar 130 ribu batang bibit untuk 30 hektare diduga tidak sepenuhnya dikerjakan dengan berbagai alasan. Padahal anggaran digelorakan cukup besar yakni sekitar 400 juta lebih khususnya di Kelurahan Kampung Masjid.
"Bahkan, bisa dipastikan usai penanaman, hingga kini kelompok tani hutan yang seharusnya bertanggung jawab penuh agar mangrove dapat tumbuh kembang dengan baik satupun tidak pernah terlihat batang hidungnya melihat ke lokasi. Padahal yang kita ketahui tujuan tanaman mangrove itu untuk mencegah abrasi, meningkatkan hasil laut dan ekowisata bagi masyarakat sekitar," ungkapnya.
Tak hanya itu, AR juga menambahkan banyak anggota kelompok tani yang meneima gaji setiap bulannya namun tidak pernah ikut bekerja dan turun ke lapangan.
"Banyak juga itu yang menerima gaji setiap bulannya masuk ke rekening masing-masing anggota, tapi tak pernah ikut kerja dan turun kelapangan saat proses penanaman berlangsung," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani, Syafri Azwar Sagala mengakui dari luas 30 hektare jumlah lahan, yang ditanami 29 hektare bibit mangrove.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Kualuh Hilir inipun tak menepis terkait tidak pernah melakukan perawatan atau sering meninjau ke lokasi hanya karena keterbatasan anggaran.
"Kayak mana mau perawatan tak ada uang perawatan bang. Untuk bibit yang ditanam kemarin memang banyak yang hidup ada juga yang mati. bibit mati yang memang ada karna disitu letak arus laut," katanya.
(JW/RZD)