Eben Nadeak dan Katherine LeeAnne (Analisadaily/Adelina Savitri Lubis)
Analisadaily.com, Medan – Sukses di negeri orang tak membuat Eben Nadeak lupa pada tanah kelahirannya. Pengusaha sukses bidang kuliner di Amerika Serikat asal Samosir ini untuk kedua kalinya pulang kampung ke Sumatera Utara (Sumut).
Berbeda dengan cerita kepulangan pertamanya ke Sumut sekitar 17 tahun lalu, tepatnya pada 2005 lalu, kali ini pria yang akrab disapa Eben ini ingin membangun kampungnya persis filosofi marsipature hutana be (Martabe).
“Saya ingin membangun pusat kuliner di Samosir, membangun sekolah, juga menciptakan lapangan kerja di tanah kelahiran saya,” ungkapnya dalam bincang santai, Selasa (7/6), didampingi Sabam Nadeak, sang abang, Ramon, sang ajudan, serta Sukraj Singh, mantan pelari atletik nasional.
Tak sendirian, Eben memboyong istrinya, Katherine LeeAnne juga dua anaknya, Francisco Nadeak dan Lorenzo Nadeak yang merupakan asli warga negara Amerika Serikat. Bagi lelaki 45 tahun ini sebuah keberhasilan atau kesuksesan yang tersemat dalam diri seseorang tak berguna jika tak memberikan manfaat bagi banyak orang.
Hal itu juga yang melatarbelakangi anak ketujuh dari delapan bersaudara ini ingin membangun Samosir. “Amerika adalah impian setiap orang di dunia, lantas saya berpikir bagaimana memindahkan impian itu ke Samosir; menjadi Samosir Dream. Dan, pengalaman 22 tahun di Amerika Serikat cukup untuk mewujudkan itu di tanah kelahiran saya,” terangnya.
Maka kepulangannya kali ini bertujuan untuk melihat situasi dan kondisi di Samosir, apa saja yang perlu dibenahi, termasuk menyiapkan SDM yang berkualitas untuk mewujudkan Samosir Dream.
Soal kuliner misalnya, dalam konsep Eben gaya Amerika patut ditiru, katanya di sana orang-orang senang makanan yang cepat, panas, good service (pelayanan yang baik). Sementara menurutnya alam telah menyediakan Samosir dengan begitu indahnya, maka tinggal bagaimana menyediakan kuliner yang disenangi oleh para wisatawan.
Memang ini menjadi kendala yang harus dihadapi oleh Eben untuk mewujudkan Samosir Dream. Pasalnya saat baru saja tiba ke Indonesia setelah perjalanan terbang yang panjang dari Amerika Serikat, Eben bersama keluarganya mencoba untuk mengusir rasa lapar di salah satu restoran ternama di Jakarta, ternyata konsep cepat, makanan panas, dan good service yang ia sebut tadi tak ia dapatkan.
“Sebaiknya semua menu pesanan konsumen tersaji bersamaan, jangan satu-satu. Selain itu harus cepat, makanan panas, tidak boleh dingin, dan pelayan harus melayani dengan baik,” ungkapnya.
Idealnya penyajian makanan tidak boleh di atas 20 menit, karena jika melebihi itu secara psikologi menurut Eben bisa membuat konsumen kecewa. Apalagi jenisnya restoran, itu berarti orang-orang datang untuk makan, dan memang lapar. Dampaknya tentu berakibat pada citra restoran yang tidak baik di mata konsumen.
Menyadari kendala-kendala itu Eben tak menyerah. Baginya pasti ada jalan untuk mengatasi hal itu, asal pelan-pelan, dan tidak gegabah. “Karena kita ingin menciptakan Samosir Dream, pastilah itu tak berjalan instan,” pungkasnya tersenyum mengakhiri perbincangan.
Berita kiriman dari: Adelina Savitri Lubis